Daging Tottori Wagyu dengan kandungan asam oleat tinggi (masashige55.com). |
Nah, daging wagyu yang cukup populer, dikenal dengan harga yang relatif mahal dan rasa yang lezat, merupakan daging yang diambil dari keempat sapi Wagyu yang disebutkan di atas. Lebih dari 90% populasi wagyu adalah Japanese black cattle, yang tersebar seantero Jepang. Jadi, bisa dikatakan bahwa daging wagyu yang beredar di pasaran adalah dari sapi jenis ini. Terpenting, di Jepang sendiri ada sistem yang dibangun untuk melindungi garis keturunan sapi wagyu, yang sekaligus sebagai penjaga kualitas daging wagyu yang dihasilkan. Lebih detil lagi, beberapa daerah atau kelompok pengusaha memiliki branding khusus untuk produk daging wagyu dengan spesifikasi tertentu. Misalnya "Kobe Beef" [神戸ビーフ], adalah daging wagyu yang dihasilkan dari sapi hitam/kuroge strain Tajima, yang merupakan strain lokal Prefektur Hyogo, yang dipelihara di sekitar Kobe dalam masa penggemukan tertentu, mengikuti kriteria Kobe Beef Marketing and Distribution Promotion Association. Kriteria ini meliputi waktu pemeliharaan dan umur potong, selain dari faktor pakan dan perawatan lainnya. Sederhananya, sapi yang dipelihara sampai 24 bulan, 32 bulan, atau durasi tertentu lainnya akan menghasilkan output jumlah daging, kualitas lemak intramuskular atau biasa disebut marbling, dan keempukan daging yang bervariasi. Selain Kobe beef, daging wagyu yang paling populer adalah Matsusaka beef dari Prefektur Mie dan Omi beef dari Prefektur Shiga.
Meskipun begitu, sapi wagyu dari daerah lain juga memiliki kualitas yang sangat baik meskipun tidak populer atau tidak dikenal secara global. Sebagai contohnya Tottori Wagyu, yang pada tahun 2017 juga pernah menduduki peringkat 1 pada kompetisi Wagyu Olympics, sebuah kompetisi sapi wagyu yang diselenggarakan oleh Wagyu Registry Organization setiap 5 tahun sekali sejak 1966. Secara karakteristik, sapi wagyu Tottori memiliki ukuran lebih besar dengan kualitas daging yang sangat baik. Tottori Wagyu, yang umumnya dikenal dengan brand Olein 55, merupakan daging wagyu dengan kandungan (sekurang-kurangnya) 55% asam oleat, seperti komponen utama dalam minyak zaitun/olive oil. Tahun 2022 lalu, giliran Mizayaki Wagyu yang berhasil menyabet posisi tertinggi dalam kompetisi serupa.
Hal yang paling utama, karkas wagyu dievaluasi secara objektif oleh graders yang terakreditasi oleh Japan Meat Grading Association (JMGA) sesuai dengan grading standards untuk karkas sapi. Saat ini terdapat kurang lebih 200 graders di Jepang, yang dalam proses evaluasinya mengacu pada sistem pemeringkatan yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1988. Mengacu pada JMGA, saat ini terdapat 3 tingkatan kuantitas daging yang dihasilkan dari karkas, ditandai dengan kode A, B, dan C menurut urutan dari tingkatan tertinggi hingga terendah. Tingkatan kuantitas daging yang dihasilkan dari karkas ini dievaluasi dengan rumus perhitungan yang mengacu pada skor dasar, kemudian ditambah dan dikurangi dengan hasil penilaian beberapa parameter. Skor akhir inilah yang kemudian dijadikan dasar dalam menentukan apakah karkas tersebut merupakan kategori A, B, atau C. Selanjutnya, tingkat kualitas daging dikelompokkan dalam beberapa kategori, menggunakan kode 1, 2, 3, 4, dan 5, berdasarkan tingkat kualitas daging dari tertinggi ke terendah. Kualitas daging ini dinilai berdasarkan empat aspek, yaitu 1) lemak intramuskular atau marbling, 2) warna dan kecerahan daging, 3) tekstur dan konsistensi daging, dan 4) warna, kilau, serta kualitas perlemakan.
Apakah daging yang dievaluasi merupakan potongan daging yang diambil secara acak? Tentu saja tidak. Penilaian kualitas daging sapi di Jepang dievaluasi pada daging di bagian costae VI–VII sekurang-kurangnya satu jam setelah ribbing (istilah untuk menggambarkan proses pengambilan daging rib eye dan dipisahkan dari area tulang belakang). Rib eye sendiri secara anatomis merupakan potongan daging yang tersusun oleh otot-otot longissimus thoracis, spinalis, dan complexus (sebagian otot ini bisa saja tertinggal pada saat ribbing).
Marbling atau perlemakan intramuskular memiliki kriteria penilaian yang mengacu pada beef marbling standard (BMS), dengan skor 1–12, yang merepresentasikan derajat lemak intramuskular dari terendah (tidak ada atau sedikit marbling) sampai derajat marbling tertinggi. Grade 1 diberikan untuk daging dengan skor BMS 1; grade 2 untuk skor 2; grade 3 untuk skor 3 dan 4; grade 4 untuk skor 5–7; dan grade 5 untuk skor 8–12. Terkait dengan warna daging, penilaian mengacu pada beef color standard (BCS), dengan rentang skor 1–7, mewakili daging dengan grade 1–5. Begitu pula dengan penilaian kualitas perlemakan, memiliki rentang skor 1–7 menurut beef fat standard (BFS), yang juga merepresentasikan kualitas daging grade 1–5. Selain itu, tekstur dan konsistensi daging juga dinilai menurut parameter sensoris yang merepresentasikan kualitas daging grade 1–5.
Standar penilaian daging sapi di Jepang menurut JMGA (Gotoh et al. 2018) |
Selezat apa daging wagyu? Kalau berbicara soal cita rasa, sebetulnya setiap orang memiliki preferensi yang boleh berbeda, apalagi terkadang kemampuan sensoris kita sebagai konsumen sudah bias oleh branding, dan tentu saja, teknik mengolah dan menyajikan menu daging juga menjadi faktor penentu bagaimana persepsi atas rasa daging, karena tahapan itulah yang merupakan tahapan akhir sebelum potongan daging memenuhi ruang mulut kita. Hanya saja, secara teori, karakter anatomi potongan daging wagyu dengan lemak intramuskular yang diumpamakan seperti pola marmer, memberikan tekstur akhir yang lembut pada daging, sehingga sangat masuk akal jika cita rasa daging wagyu ini berada pada kategori premium. Jaringan lemak intramuskular pada sapi wagyu terdiri atas lemak tak jenuh yang lebih tinggi dari daging sapi lainnya, dan banyak penelitian ilmiah yang sudah membuktikan bahwa kandungan lemak tak jenuh yang tinggi seperti asam oleat ini membuat daging wagyu menjadi daging sapi yang lebih sehat dikonsumsi. Bagaimana dengan daging-daging di luar Jepang yang diklaim sebagai daging wagyu? Mungkin bisa kita bahas di lain kesempatan.