For professional profile please visit my LinkedIn

Opini: Menyoal klaim praktik animal communicator

Belum lama ini, sempat hangat diskusi dan perdebatan (di media sosial khususnya) tentang komunikasi dengan hewan (animal communication), yang layanan jasa ini ditawarkan dan dilakukan oleh seseorang yang disebut sebagai animal communicator. Seorang animal communicator mempunyai klaim atas kemampuan berkomunikasi dengan hewan secara non-verbal, melalui telepati, intuisi, atau pendekatan emosional. Konsep komunikasi non-verbal ini tentu menjadi topik yang kontroversial dan wajar jika banyak pihak yang mempertanyakan. Beberapa orang mungkin percaya dengan "jasa" yang ditawarkan, dan memiliki pengalaman positif dari layanan animal communication, dan sebagian orang juga pasti menganggap layanan ini hanya mengada-ada, pada beberapa aspek, tergantung jasa apa yang diberikan oleh animal communicator

Ilustrasi: Pexels/Ivan Babydov 2021.

Sebetulnya, pilihan untuk percaya atau tidak, dikembalikan kepada setiap individu, tanpa harus ada debat kusir, seperti yang terjadi di dunia maya – media sosial. Sayangnya, diskusi atau debat ilmiah, setahu saya, justru belum pernah terjadi atau dilakukan dengan melakukan konfrontasi antara animal communicator dengan sejawat yang mampu mengkritisi hal tersebut. Komunikasi non-verbal dengan hewan sebetulnya bukan suatu hal baru, dan pada konteks tertentu, bisa diterima secara ilmiah. Contoh sederhananya, kita mungkin familiar dengan ilmu perilaku hewan (animal behavior, ethology), yang tentu secara ilmiah dapat dipelajari. Bahkan, perilaku hewan menjadi disiplin ilmu tersendiri yang dapat dikaji dan ditekuni secara mendalam. Dari sudut pandang manusia, pengetahuan tentang perilaku hewan, sangat bermanfaat pada saat manusia akan melakukan suatu aktivitas yang terkait dengan hewan, atau berinteraksi dengan hewan. Kita sangat mungkin mengetahui, hewan (sentient beings, mahluk yang memiliki perasaan atau sensasi), sedang mengalami perasaan emosional tertentu dengan melihat gerak-gerik (gesture) tubuhnya atau dari suara yang dikeluarkan, yang semuanya sudah terbukti melalui telaah secara ilmiah. Jadi, interpretasi terhadap perilaku hewan tidak muncul sebagai suatu imajinasi tanpa dasar. Hewan juga memiliki kemampuan mempelajari sesuatu, sehingga beberapa perilaku hewan muncul sebagai hasil dari proses belajar dan beradaptasi. Hal ini yang memungkinkan, hewan juga dapat memahami dan merespon, apa-apa yang dilakukan atau ditunjukkan oleh manusia. Kawanan sapi di padang penggembalaan yang berduyun-duyun kembali ke kandang ketika peternak memberikan isyarat tertentu atau anjing yang dapat mengikuti instruksi dari pemiliknya, adalah contoh bahwa komunikasi non-verbal dapat terjalin antara manusia dan hewan. Menarik bukan? 

Di sisi lain, beberapa klaim yang disampaikan dalam layanan animal communication merupakan hal yang cenderung di luar logika. Sebagai contoh, berdasarkan yang saya ketahui –bukan baru-baru ini melainkan sejak 6-7 tahun yang lalu– aktivitas yang dilakukan atau ditawarkan oleh beberapa orang yang mempelajari "komunikasi non-verbal" tersebut, dan belakangan populer di Indonesia dengan istilah animal communicator meliputi layanan berkomunikasi dengan hewan peliharaan yang hilang sampai komunikasi dengan hewan yang sudah meninggal (misalnya mengetahui penyebab kematiannya, atau sekedar membantu klien yang ingin menyampaikan sesuatu kepada hewannya yang sudah meninggal, yang belum sempat disampaikan). Klaim ini tentu sangat fantastis. Menurut apa yang saya pahami dari beberapa penelusuran atas dasar rasa keingintahuan sejak beberapa tahun yang lalu (bukan baru-baru ini saja), seorang praktisi animal communication dapat memberikan informasi berdasarkan apa yang diterima selama proses "berkomunikasi", berupa gambaran tertentu yang "mengarah" kepada target atau poin apa yang ingin didapatkan informasinya. Misalnya, ketika pet owner ingin mengetahui keberadaan hewannya yang hilang, gambaran yang muncul berupa (misalnya): "hewan tersebut berada di area dekat dengan rumah berwarna putih, dekat dengan bukit", atau "hewan tersebut bilang kalau ia sakit hati karena pemiliknya sering marah-marah", dan sebagainya. Tentu kalimatnya tidak sama persis, karena saya hanya mengilustrasikan ulang beberapa informasi yang pernah saya dapatkan, tapi kurang lebih informasinya semacam itu.  Meskipun, pada kenyataannya, diakui oleh seorang animal communicator yang mempraktikkan "komunikasi" ini, bahwa selama ini, hasil dari proses komunikasi dengan hewan bisa berpeluang tepat atau salah, karena kemampuan seperti ini perlu diasah. Pengakuan lain, dikatakan juga bahwa terkadang masih tidak yakin apakah "gambaran" yang didapatkan dari proses "komunikasi" dengan hewan adalah benar atau imajinasi/fantasi otak semata. Hal lain, dalih bahwa "gambaran" yang didapatkan oleh setiap animal communicator bisa saja berbeda-beda, tergantung level kemampuannya.

Kalau ditelusuri, secara saintifik, tidak ada bukti kuat yang mendukung eksistensi komunikasi telepati antara manusia dan hewan, terlepas dari klaim bahwa ada respon komunikasi yang disampaikan oleh hewan kepada animal communicator. Beberapa praktisi animal communicator, yang saya ketahui, juga tidak jarang membagikan testimoni positif dari para klien, yang merasa terbantu dengan adanya layanan jasa animal communication. Hanya saja perlu dicatat, bahwa testimoni personal dari klien tidak dapat dijadikan bukti ilmiah yang valid dan terpercaya. Setidaknya, saya katakan tidak cukup, dan klaim-klaim tersebut mengarah kepada pseudoscience.

Teori yang juga biasanya disertakan dalam komunikasi non-verbal adalah tentang gelombang otak (brain waves), yang umum dikenal yaitu: gamma, alpha, beta, theta, dan delta. Dalam sejarah perkembangan sains, perangkat electroenchepalogram (EEG) dapat membaca gelombang impuls elektrik otak, di mana impuls yang berkorelasi dengan aktivitas otak ini berasal dari ribuan bahkan jutaan sel syaraf (neuron), kemudian direpretasikan sebagai gelombang (frekuensi tertentu). Bagaimana impuls elektrik ini terjadi? Sederhananya, rangsangan atau stimulus, misalnya berupa sensasi yang diterima oleh ujung syaraf sensoris, akan menyebabkan terjadinya perubahan cepat dari membran sel syaraf, yang merubah keseimbangan ion sehingga terjadi potensial aksi atau impuls syaraf. Nah, aktivitas syaraf ini yang karena tidak dapat dilihat, kemudian dibaca menggunakan persngkat EEG, terbaca sebagai (salah satunya) gelombang aktivitas otak dengan frekuensi tertentu. Secara obyektif, frekuensi gelombang tertentu berkorelasi (diinterpretasikan) dengan keadaan berbeda-berbeda, apakah pada level kesadaran dan siaga, stres, depresi, rileks atau pada level tidur (deep sleep). "Gelombang otak" ini secara teori merupakan gelombang yang cukup lemah. Pertanyaannya, apakah mungkin melakukan transfer sinyal dari otak antar-individu, bahkan antar-spesies? Ini yang perlu dijelaskan lebih detil, dan beberapa ilmuwan sedang bekerja untuk hal ini. Pertanyaan lain, bagaimana komunikasi dan pertukaran informasi dapat terjadi pada saat otak berada pada status atau keadaan tertentu?

Hal di atas merupakan bagian dari skeptisme yang diperlukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Saya pernah ngobrol ringan dengan beberapa teman juga soal animal communication, kebetulan salah satu argumen yang dijadikan dasar adalah terkait percaya pada sesuatu yang ghaib, sehingga teori-teori animal communication bisa saja benar. Ya tentu dalam konteks agama, Islam dalam hal ini, wajib hukumnya mengimani perkara-perkara yang ghaib, karena itu bagian dari ketauhidan seorang muslim, di antaranya menjadi yang paling utama dan pertama, yaitu iman kepada Allah, selain tentunya rukun iman lainnya. Tanpa mengimani perkara ghaib, kita bisa terjerumus kepada pemikiran atheis. Sebaliknya, terlalu gampang percaya perkara ghaib, kita bisa terjerumus kepada kesyirikan, atau minimal menjadi sulit membedakan mana yang benar dan yang palsu, karena terlalu percaya pada narasi (barangkali) yang juga ghaib. Jadi maksudnya, kita harus mengimani perkara-perkara ghaib, terutama yang dijelaskan oleh syariat, tetapi bukan berarti harus percaya dengan perkara ghaib yang dikatakan oleh seseorang. Hehe, yang ini untuk intermezzo saja.

Kembali lagi ke topik bahasan tentang animal communicator. Dalam konteks tertentu, sekali lagi, saya berpendapat bahwa beberapa hal masih bisa diterima dengan nalar, yaitu hal-hal yang memiliki basis keilmuan seperti perilaku hewan, atau misalnya dasar ilmu kedokteran hewan jika terkait diagnosa penyakit. Dokter hewan bisa menyelesaikan masalah yang ada pada hewan, seperti kasus penyakit, dan sebagainya. Animal behaviorist, atau ahli perilaku hewan, dapat memberikan solusi dengan ilmu yang dimiliki. Tapi klaim animal communicator yang mampu berkomunikasi dengan hewan secara non-verbal dalam konteks sampai pada hal yang dijelaskan sebelumnya, bahkan "berkomunikasi" dengan "arwah" hewan, saya kira perlu ditelaah kembali. 

Selain itu, fakta adanya berbagai laporan investigasi yang dilakukan oleh jurnalis atau lembaga pers terhadap aktivitas animal communicator di beberapa negara atau wilayah, yang mengarah kepada sesuatu yang dikatakan "palsu". Informasi berbagai investigasi bisa dibaca di berbagai sumber, bisa browsing saja. Salah satu contohnya, media di Hongkong, pada tahun 2017 (baca di sini) melakukan investigasi dengan menghubungi lima animal communicators, yang kemudian dimintai jasanya atas hilangnya seekor kura-kura (foto kura-kura dari si pemilik diberikan kepada kelima animal communicators). Seperti dalih yang juga pernah saya dengar sebelumnya, benar bahwa jawaban/feedback dari kelima orang tersebut berbeda-beda. Namun, hal yang paling mengejutkan adalah, bahwa kura-kura yang dimaksud ternyata adalah patung atau mainan kura-kura yang sekilas mirip kura-kura asli.

Sekali lagi saya sampaikan bahwa, masyarakat mau percaya atau pun tidak terhadap klaim-klaim animal communication, silakan saja, pilihan masing-masing. Tulisan ini menitikberatkan pada kebenaran beberapa klaim tertentu yang secara logis sulit diterima, serta menyisakan pertanyaan-pertanyaan, antara lain: 1) apakah keberhasilan "komunikasi" dengan hewan adalah benar-benar ada pertukaran informasi antara animal communicator dan hewannya, atau 2) apakah keberhasilannya didasarkan pada keahlian lain misalnya animal behaviorist atau dokter hewan (untuk konteks diagnosa penyakit), atau 3) apakah keberhasilannya adalah hasil dari kecakapan seorang animal communicator dalam merangkum berbagai informasi yang didapatkan melalui proses komunikasi dengan klien, atau 4) apakah keberhasilannya adalah kebetulan saja (hewan peliharaan tidak pulang, setelah menggunakan jasa animal communicator kemudian beberapa hari kemudian hewan pulang). Tentu saja pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab dan dijelaskan dengan dasar saintifik yang kuat. Adapun sikap skeptis dari beberapa kalangan, merupakan hal yang wajar dan dalam konteks ilmiah justru diperlukan. Ruang diskusi yang baik justru perlu dibuka seluas-luasnya, bukan melalui perdebatan di media sosial. Saya pribadi sangat terbuka terhadap kritik dan komentar atas tulisan dalam artikel ini.

Disclaimer: Tulisan ini adalah sudut pandang pribadi, tidak ada kaitan dengan sikap dan pendapat dari  institusi manapun. Penulis tidak pernah meminta layanan jasa dari animal communicator.

Veterinary anatomist | School of Veterinary Medicine and Biomedical Sciences, IPB University | Ph.D. student, Joint Graduate School of Veterinary Sciences, Tottori University, Japan

4 comments

  1. Tulisan yg menarik untuk dibaca, sbg seorang drh acap kali Owner yang membawa hewannya berobat hampir pernah menggunakan jasa ancom, entah karena hewannya hilang, sakit atau sekedar iseng ingin tahu perasaan hewan terhadap pemiliknya. Saya pribadi pernah dapat klien yg bercerita bahwa sebelum hewannya dibawa ke klinik saya, terlebih dahulu klien ini konsultasi dengan ancom dan ancom mengatakan bahwa hewan tersebut ada permasalahan di mulut. Setelah saya periksa memang benar ada gigi yang busuk dan gusi bengkak. Percaya tidak percaya sih. Topik ini bagus di ulas di kalangan profesional dan akademisi
    1. Terima kasih sudah mampir dan sharing, Dok (maaf, ga ditulis namanya, jadi saya jg ga tahu). Pertanyaan selanjutnya, berapa persentase ketepatannya dok? bisa jadi kebetulan atau misalnya sudah ada informasi yang digali kepada klien, atau memang ada aktivitas memeriksa/observasi. dalam hal ini masih sangat banyak faktor yang bisa mempengaruhi. Nah, apakah ketepatan itu benar hasil dari proses "komunikasi" atau sebetulnya hasil interview? itu yg masih menjadi pertanyaan penting bagi saya. Betul, saya kira menarik juga untuk didiskusikan lebih mendalam ya. Thanks dok.
  2. Terima kasih dok, tulisan yg sangat menarik untuk sebuah topik yg masih sering diperdebatkan ini.
    Saya juga setuju, pembahasan lebih lanjut mengenai praktik komunikasi hewan menarik untuk didiskusikan.
    Untuk saya sendiri, percaya bahwa secara telepati, komunikasi dengan hewan bisa kita jalin, yakni tentu saja dengan latihan menggunakan teknik tertentu.
    Beberapa kasus yg ditemukan di meja praktek, keluhan yg dimiliki hewan tidak selalau berkaitan dengan keadaan patologis, namun psikologis hewan tersebut, sehingga menurut saya pemanfaatan komunikasi hewan serta pemahaman perilaku hewan sangat bagus jika apabila dijalankan beriringan dengan ilmu kedokteran hewan.
    1. Terima kasih dok Feni atas tanggapannya. Saya setuju bahwa hewan sebagai sentient being, juga dapat mengekspresikan perasaan atau mengalami status mental tertentu, sehingga kasus yg terjadi bisa jadi tidak hanya masalah fisik. Dan perilaku hewan menjadi penting dipahami oleh (dalam konteks yang dokter sampaikan) dokter hewan, utk membantu seorang dokter dalam menangani masalah yg ada pada hewan. Setidaknya perilaku hewan yang terekspresikan melalui gestur tertentu bisa dipelajari dan kita pahami. Nah, poin terkait telepati, dan atau bahkan klaim "komunikasi" yang dilakukan hanya dengan melihat foto (misalnya), dan menghasilkan informasi tertentu, menurut saya masih perlu dipertanyakan dasar ilmiahnya.
Komentar atau tidak komentar tetap thank you.