For professional profile please visit my LinkedIn

Fenomena "kids these days": sebuah renungan bagi generasi yang hidup saat ini

Selama tiga hari ini, tanggal 7–9 September 2023, saya berpartisipasi dalam pertemuan ilmiah Masyarakat Peneliti Karbohidrat Jepang (The 42nd Annual Meeting of Japanese Society of Carbohydrate Research). Rata-rata yang hadir dalam pertemuan ilmiah tersebut adalah para peneliti dengan latar belakang kimia, biokimia, dan teknik kimia, yang memiliki ketertarikan riset pada molekul-molekul karbohidrat. Bidang ini, yang awalnya saya anggap spesifik, tapi nyatanya sangat luas karena memang molekul karbohidrat ini sangat banyak, sebagai senyawa organik yang paling melimpah di bumi. Kita tahu bahwa karbohidrat, atau dalam istilah bahasa Indonesia disebut hidrat arang, atau sakarida dalam bahasa Yunani, adalah biomolekul yang tersusun dari atom karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O), dengan rumus empiris (C)m(H2O)n. Dengan m dan n bisa sampai tak terhingga, terbayang bentuk molekul karbohidrat ini bisa jadi berupa rantai gula dengan bentuk paling sederhana berupa monosakarida, disakarida, oligosakarida, polisakarida, serta rantai berulang dan sangat panjang berupa polimer karbohidrat. Terlihat "kimia" sekali, bukan? Tapi tentu saja di dalam pertemuan tersebut juga hadir para peneliti dari bidang kedokteran, biomedis, farmasi, dan lain-lain; yang melibatkan senyawa karbohidrat dalam penelitiannya. Saya menjadi satu-satunya anggota dan presenter (poster) dari bidang sains veteriner.

Nah, salah satu yang berbeda dari konferensi atau pertemuan ilmiah pada umumnya adalah adanya agenda Legend Lectures, di hari ke-2 kemarin, yang mengundang Dr. Yukishige Ito, peneliti senior yang memiliki rekam jejak panjang dalam penelitian karbohidrat. Beliau adalah seorang Profesor yang berkarir di RIKEN lebih dari 20 tahun, dan di masa pensiunnya dari lembaga riset Jepang tersebut, sejak tahun 2020 melanjutkan tugas sebagai Specially Appointed Professor di Osaka University. Karena kepakarannya, Beliau pernah menjabat sebagai President of International Carbohydrate Organization (ICO), pada tahun 2010–2012. Pada tulisan kali ini, saya akan skip saja apa isi utama dari presentasi Dr. Yukishige Ito (Scopus Author ID: 7410027960), yang berjudul "My recipes in glycoscience". Saya akan langsung fokus pada hal menarik di bagian akhir presentasi beliau, yang menurut saya perlu saya bagikan. 

Di beberapa slide terakhirnya, Dr. Ito menceritakan partisipasinya dalam salah satu pertemuan internasional, yang ternyata juga dihadiri peneliti-peneliti muda, bahkan beberapa perwakilan siswa-siswi setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Beliau senang bahwa banyak peneliti muda yang hebat dan menonjol. Dari situ, Dr. Ito mengaitkan dengan rasa heran beliau terhadap anggapan sinis terhadap kualitas generasi masa kini yang umum di masyarakat, yang menganggap generasi muda mengalami defisien atau kurang baik dibandingkan generasi sebelumnya. Bukan hanya di Jepang, karena menurut saya stereotipe tersebut juga umum ditemui di Indonesia. Intinya, Dr. Ito heran karena hal tersebut berbeda dengan apa yang ada dalam pandangan beliau, bahwa anak-anak dan kaum muda generasi saat ini telah jauh melampaui generasi sebelumnya. Sudut pandang ini yang bagi saya menarik, setidaknya sebagai renungan saya pribadi. 

Pandangan tersebut bisa kita katakan sebagai pandangan personal Dr. Ito yang subjektif. Namun, di slide akhir, beliau juga menampilkan hasil studi John Protzko dan Jonathan W. Schooler (Department of Psychological & Brain Sciences, University of California, Santa Barbara, Santa Barbara, CA, USA), dengan judul "Kids these days: Why the youth of today seem lacking" (Science Advances, Vol. 5, Issue 10, Oct 2019). Terhadap keresahan tersebut, Beliau berpesan yang kurang lebih intinya adalah jika masyarakat kita mulai berpikir bahwa generasi saat ini mengalami defisien atau kemunduran, perlu direnungi kembali bahwa generasi itu juga lah yang kita banggakan. 

Apa itu "kids these days"? Di negara barat, terminologi ini adalah istilah yang dimaknai sebagai suatu stereotipe anggapan bahwa generasi saat ini, lebih buruk atau mengalami "degradasi" (dalam berbagai aspek) atau setidaknya tidak lebih baik dibandingkan generasi sebelumnya. Fenomena seperti ini saya kira relevan dengan apa yang juga terjadi di sekitar kita. Mungkin Anda familiar dengan kalimat obrolan "Anak jaman sekarang blah blah blah...."; "Anak sekarang itu kurang blah blah blah..."; "Anak sekarang begitu aja blah blah blah....zaman kami dulu blah blah blah....". Tidak semua orang begitu, pastinya, tapi banyak yang beranggapan demikian, dan terkadang tanpa disadari sering terjadi. 

Sama halnya di lingkungan kampus, fenomena seperti ini juga terjadi, setidaknya ini yang saya lihat. Lebih parahnya, anggapan ini juga terjadi pada lingkup rentang generasi yang lebih sempit, misalnya antara mahasiswa senior dan juniornya. Sama-sama generasi milenial misalnya, atau sama-sama generasi Z, tetapi lucunya kakak tingkat juga bisa bilang "anak-anak zaman sekarang blah blah blah....", seolah-olah dia bukan bagian dari generasi sekarang. Di lingkungan kampus mungkin familiar dengan istilah senioritas, nah, anggapan bahwa "junior adalah lebih inferior dibandingkan mereka (para senior)" saja itu sudah keliru. Selain sesama mahasiswa, tentu di lingkungan kampus, stereotipe anggapan seperti ini bisa muncul dari para dosen terhadap para mahasiswanya. Justru sangat berpotensi terjadi karena gap umur sudah cukup jauh, serta faktor lainnya. Fenomena ini, sekali lagi, umum terjadi di lingkungan masyarakat kita, sebagai obrolan awam (barangkali) di acara arisan keluarga, perkumpulan RT, dan lain sebagainya; yang seharusnya tidak perlu ada di kalangan cendekia.  Sebagai catatan dalam tulisan ini, karakter defisien mungkin saja kita temukan pada seseorang, tidak peduli kaum muda maupun tua, dan hal tersebut tidak termasuk dalam pembahasan stereotipe persepsi dalam tulisan ini.

Benarkah generasi saat ini defisien atau kurang baik dalam berbagai aspek? Perlu digaris bawahi bahwa apa yang dianggap "kurang" dari generasi sekarang, tentunya bisa dilihat dari berbagai aspek. Dan jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, misalnya Baby Boomer, generasi Z yang lahir pada era berbeda tentu banyak sekali perbedaan, apalagi yang terkait dengan culture of the society. Namun, apakah defisien yang dianggap terjadi pada generasi muda ini benar-benar sebagai suatu kemunduran? Mari kita baca hasil studi Protzko dan Schooler yang saya sebutkan di atas. Studi mereka memang dilakukan dengan responden masyarakat di Amerika, tapi saya kira secara umum relevan dengan masyarakat manapun, atau paling tidak bisa kita jadikan bahan renungan. 

Dalam studi oleh Protzko dan Schooler, ada tiga aspek persepsi yang dimasukan, yaitu persepsi masyarakat terhadap rasa menghormati, intelegensi, dan terkait minat baca dari generasi muda saat ini, dibandingkan bagaimana aspek-aspek tersebut pada generasi responden pada masa lampau. Hasilnya, secara singkat cukup jelas, bahwa semakin seseorang memiliki karakter otoritarian, ia akan menganggap anak muda saat ini kurang memiliki rasa menghormati (atau mungkin juga kesopanan) kepada orang yang lebih tua. Orang-orang yang memiliki intelegensi, kaum cerdik cendekia, dikatakan cenderung memiliki anggapan bahwa anak muda saat ini kurang cerdas dibandingkan mereka. Lalu yang terakhir, orang-orang yang memiliki minat baca yang baik, cenderung menganggap bahwa anak muda "masa kini" kurang memiliki minat baca. 

"Authoritarian people especially think youth are less respectful of their elders, intelligent people especially think youth are less intelligent, and well-read people especially think youth enjoy reading less." – Protzko dan Schooler, 2019.

Menariknya, studi ini memberikan fenomena penting bahwa anggapan terhadap defisien atau kemunduran yang terjadi pada generasi muda lebih dominan, dibandingkan anggapan positif terkait generasi muda. Hal ini salah satunya disebabkan oleh karakteristik umum manusia yang mudah sekali menemukan kekurangan pada orang lain. Selain itu, ingatan yang bias menjadi penyebab lain, di mana seseorang menganggap dirinya seperti apa yang ada saat ini sebagai figur yang sama superiornya pada masa muda saat dulu. Figur seperti ini lupa atau tidak betul-betul ingat seperti apa kualitas dirinya pada masa lampau, karenanya dikatakan oleh Protzko dan Schooler sebagai memory bias

"Two mechanisms contribute to humanity’s perennial tendency to denigrate kids: a person-specific tendency to notice the limitations of others where one excels and a memory bias projecting one’s current qualities onto the youth of the past." – Protzko dan Schooler, 2019.

Sekali lagi semua boleh menyanggah hasil studi ini, tetapi Protzko dan Schooler juga menyebutkan dalam pendahuluan artikelnya, setidaknya sejak lebih dari 2500 tahun silam, manusia telah mengeluhkan defisien atau kemunduran generasi mudanya, dibandingkan dengan generasi mereka pada masa sebelumnya. Banyaknya keluhan tentang “anak-anak zaman sekarang” selama ribuan tahun mengindikasikan bahwa kritik tersebut tidak akurat dan tidak tepat menunjukkan keistimewaan suatu budaya atau waktu tertentu—melainkan mewakili ilusi pada umat manusia secara umum.

Sebagai tambahan, dalam tulisan Brian Resnick, "Why old people will always complain about young people" juga memprediksi bahwa generasi muda saat, pada saat mereka ada pada fase lebih dewasa (tua, senior), juga akan mengeluhkan generasi muda berikutnya suatu saat nanti; begitu seterusnya. Bagaimanapun, generasi setelah kita dan berikutnya adalah pemegang estafet pembangunan di masa mendatang, dan sejarah membuktikan, bagaimanapun generasi zaman terdahulu mengeluhkan generasi mudanya, kehidupan tetap berjalan ke depan. Sebagai bahan renungan, dalam banyak aspek manusia telah mengalami kemajuan, meskipun dalam beberapa aspek juga ada hal-hal yang terkikis. Terpenting, generasi saat ini perlu menyadari dan merenungi stereotipe anggapan-anggapan negatif terhadap generasi masa depan, supaya kita tidak terjebak pada perasaan superior dibanding generasi setelah kita. Misalnya para millenial kepada generasi X dan atau generasi Z. Sebaliknya, generasi muda saat ini perlu membuktikan bahwa ia adalah manusia yang berkualitas dan lebih maju, dengan tetap memegang nilai-nilai yang ada dalam norma masyarakat saat ini. Jika semua bisa merenungi hal tersebut, seharusnya anggapan negatif dan keluhan terhadap generasi muda dapat berhenti pada masa sekarang ini. 

A teacher walking with her students/Photo by ROMAN ODINTSOV


Veterinary anatomist | School of Veterinary Medicine and Biomedical Sciences, IPB University | Ph.D. student, Joint Graduate School of Veterinary Sciences, Tottori University, Japan

Post a Comment

Komentar atau tidak komentar tetap thank you.