For professional profile please visit my LinkedIn

Apakah boleh membawa produk asal hewan ke wilayah suatu negara?

Memahami latar belakang penegakan aturan kekarantinaan
Anjing pendeteksi produk daging yang bekerja membantu petugas Animal Quarantine Services Jepang (fun-japan.jp)

Berbicara mengenai pelarangan membawa produk asal hewan ke Jepang, pengalaman kami selama di Jepang, pemerintah prefektur (wilayah administrasi setingkat provinsi) secara aktif memberikan dan menyebarluaskan materi edukasi terkait dengan pelarangan membawa produk asal hewan, selain juga produk buah dan sayuran (selanjutnya saya akan fokus pada produk asal hewan). Contoh bagaimana informasi terkait larangan membawa produk asal hewan yang dirilis oleh Pemerintah Prefektur Tottori, ada pada laman Tottori Prefektural International Exchange Foundationmengacu pada aturan dari Badan Karantina Hewan, Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (Animal Quarantine Services, Ministry of Agriculture Forestry and Fisheries) Jepang. Universitas juga secara aktif memberikan notifikasi dan edukasi kepada para mahasiswa-nya, untuk memperhatikan aturan terkait, yang biasanya menitikberatkan pada aspek hukum, penyadartahuan bahwa aktivitas membawa masuk produk asal hewan setelah kembali dari bepergian ke luar negeri merupakan aktivitas ilegal dan melanggar hukum, sehingga siapa saja yang melanggar akan dikenakan sanksi pidana berupa denda, hukuman penjara, dan atau lainnya (misalnya tidak diizinkan masuk ke negara tersebut, atau dideportasi).

Akan tetapi, tidak sedikit juga yang belum memahami apa latar belakang suatu negara, tidak hanya Jepang, memberlakukan aturan tersebut, sehingga tidak jarang orang menyepelekan aturan yang sangat penting. Sebagai informasi, pengawasan terhadap adanya produk asal hewan yang dibawa masuk ke suatu negara biasanya dilakukan di jalur masuk suatu wilayah negara, misalnya bandara, pelabuhan, dan lain sebagainya. Aturan hukum yang berkaitan dengan produk asal hewan di bawah pengawasan badan/divisi karantina hewan, yang setidaknya di Jepang maupun Indonesia, sama-sama berada di bawah Kementerian Pertanian. Lalu, apa sebetulnya latar belakang aturan kekarantinaan –yang dalam kacamata masyarakat awam barangkali direpresentasikan dengan pertanyaan mengapa kok membawa daging atau produk olahan daging dilarang?

Pemahaman dari perspektif penegakan aturan di Indonesia

Sebagai warga negara Indonesia, akan lebih pas jika topik ini kita lihat dari sudut pandang aturan negara kita sendiri. Namun, sekali lagi, aturan seperti ini adalah aturan umum yang saya yakin berlaku di negara manapun karena terkait dengan keamanan dan pertahanan suatu negara. Di negara Indonesia, peraturan terkait dapat dilihat di dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (menggantikan UU No. 16 Tahun 1992). Dalam Bab I Ketentuan Umum, saya tuliskan ulang di sini, apa yang dimaksud dengan Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. 
Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan yang selanjutnya disebut Karantina adalah sistem pencegahan masuk, keluar dan tersebarnya hama dan penyakit hewan Karantina, hama dan penyakit ikan Karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan Karantina; serta pengawasan dan/atau pengendalian terhadap keamanan pangan dan mutu pangan, keamanan pakan dan mutu pakan, produk Rekayasa Genetik, Sumber Daya Genetik, Agensia Hayati, Jenis Asing Invasif, Tumbuhan dan Satwa Liar, serta Tumbuhan dan Satwa Langka yang dimasukkan ke dalam, tersebarnya dari suatu Area ke Area lain, dan/atau dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jadi dari definisi apa itu karantina dalam konteks aturan perundang-undangan ini saja kita tahu bahwa tujuan dari penegakan aturan tersebut adalah salah satunya mencegah masuk dan keluarnya, serta tersebarnya hama dan penyakit hewan karantina. Kira-kira sebesar apa efek penyakit hewan yang dimaksud? Terlepas dari definisi yang secara detil dijelaskan di undang-undang, kalau boleh saya sederhanakan, hama dan penyakit hewan yang dimaksud dan dititik-beratkan tentunya adalah penyakit yang bersifat menular. Selebihnya, bisa dipahami juga bahwa penyakit yang harus dicegah masuk dan keluar dari suatu wilayah tentunya yang jika penularan atau penyebarannya terjadi, dapat mengakibatkan kerugian besar berupa kematian hewan, berpotensi membahayakan kesehatan manusia, menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi secara nasional atau internasional. Jadi, aturan kekarantinaan ini tidak main-main dibuat, karena memang risiko yang mengintai juga tidak main-main. 

Sebagai contoh, penyakit hewan yang penting untuk dicegah kemunculan dan penyebarannya: flu burung/avian influenza pada berbagai unggas, flu babi/swine flu pada babi, penyakit mulut dan kuku/foot and mouth disease (FMD) pada hewan berkuku genap seperti sapi, kambing, domba, babi; rabies pada anjing, kucing, kera, dan hewan pembawa rabies lainnya; antraks/anthrax pada ruminansia seperti sapi dan primata; leptospirosis pada hewan pengerat seperti tikus; ebola pada kelelawar dan primata; japanese encephalitistetanus, toxoplasmosis, hepatitis, dan sapi gila/mad cowBeberapa penyakit hewan tersebut sangat berbahaya dan berpotensi menular ke manusia (dikenal sebagai: zoonosis atau penyakit zoonotik). Tentu ini belum termasuk penyakit zoonotik lain, serta penyakit non-zoonotik yang juga sangat mudah menular (contagious) yang dapat melumpuhkan dunia peternakan, yang pastinya akan mempengaruhi ketahanan suatu negara (ketahanan pangan, misalnya). Jadi imbas dari sepotong atau sekian gram daging yang kita bawa bepergian melintasi batas administratif suatu negara, yang kita tidak bisa memastikan apakah daging tersebut membawa hama dan penyakit hewan atau tidak, ternyata dapat mengacaukan stabilitas suatu negara. 

Seseorang yang kebetulan diketahui membawa produk daging misalnya, secara ilegal, akan secara pribadi menerima dan menanggung konsekuensi hukum, selain barangkali mencoreng nama baik negara sendiri. Tapi, jika karena keterbatasan pengawasan sehingga, seseorang berhasil membawa produk daging secara ilegal, dan ternyata produk tersebut membawa menjadi sebab mewabahnya penyakit tertentu di negara tujuan, tentu pemerintah setempat yang harus menanggung risiko kekacauan yang terjadi. 

Belajar dari kasus di Jepang dan Indonesia

Dalam kurun waktu tahun 2019–2020, terdapat beberapa kasus masuknya (hand luggage) produk asal hewan secara ilegal di Jepang, yang berhasil diidentifikasi oleh petugas di Bandara Internasional Haneda (Tokyo), Narita (Tokyo) Fukuoka, Kansai (Osaka) dan Chubu (Aichi), serta berakhir pada penahanan dan deportasi kepada pendatang asal Vietnam, Filipina, Taiwan, dan Thailand (alhamdulillah tidak ada laporan ditangkapnya WNI, semoga tidak ada). Pada kasus yang bisa dikatakan sebagai importasi produk asal hewan ilegal tersebut, berbagai jenis produk asal hewan berhasil diamankan berupa daging sapi, daging ayam, daging bebek, produk olahan daging babi, sosis, dan dadih/blood cake dari darah babi dan bebek). Daftar laporan dari Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang tersebut dapat dilihat selengkapnya di sini

Sebagai informasi, di akhir tahun 2018, Jepang yang sejak 26 tahun sebelumnya dinyatakan bebas dari flu babi, classical swine fever (CSF), mengalami outbreak pada saat itu. Kasus tersebut, menurut keterangan para ahli, diduga disebabkan oleh produk olahan babi (dalam berbagai berita disebut pork dumplings, yang sederhannaya adalah olahan semacam jenis dimsum, gyoza, dan sebagainya) yang terkontaminasi dan dibawa oleh pendatang.  

Di Indonesia sendiri, belum lama ini, pemerintah juga berjibaku dengan kasus penyakit mulut dan kuku (PMK), yang menyebabkan banyak kerugian bagi para peternak sapi di berbagai wilayah. Tidak ingin berspekulasi, tapi wabah tersebut sangat mungkin disebabkan oleh hama penyakit yang masuk ke Indonesia melalui aktivitas importasi daging dan produk susu secara ilegal ataupun dibawa oleh pendatang. Selain PMK, ribuan ternak babi mati di berbagai wilayah, karena tertular African swine fever (ASF), tentu menyebabkan kerugian ekonomi dan sosial yang sangat besar. 

Sudah saatnya masyarakat meningkatkan kesadaran akan risiko penularan penyakit

Mengetahui aturan yang berlaku, di Jepang misalnya, membawa produk asal hewan secara ilegal dapat dikenai hukuman penjara hingga 3 tahun, atau denda mencapai 3 juta yen (50 juta yen untuk skala bisnis).  Dendanya cukup membuat miskin bukan? Tentu saja, mengingat risiko kerugian yang jauh lebih besar dan tidak dapat dinilai dan dipandang dari aspek materiil saja. Namun, terlepas dari itu semua, lebih utama adalah meningkatkan kesadaran atas pentingnya mematuhi aturan yang sudah dibuat oleh otoritas yang tentu saja bertanggung jawab atas kepentingan publik. Bagi mina san yang tinggal di Jepang, menerima paket/kiriman produk asal hewan secara ilegal dari luar Jepang juga melanggar hukum, dan penerima lah yang akan dikenai hukuman denda maupun penjara seperti yang disebutkan di atas. Jadi, apakah 'haram' hukumnya membawa produk asal hewan lintas negara? Sudah pasti jawabannya jelas terlarang, dengan pengecualian. Pengecualian maksudnya? Iya, terkecuali jika kita melaporkan kegiatan membawa produk asal hewan lintas negara melalui lembaga yang berwenang (kantor karantina yang membidangi layanan karatina hewan, seperti Balai Besar Karantina Pertanian yang ada di Bandara Internasional Soekarno Hatta) dan mendapatkan dokumen karantina hewan. Apakah ada biaya atas layanan? Tentu saja, sesuai aturan, yang biaya tersebut akan masuk ke kas negara. Jadi, tidak worth it kalau secara pribadi harus mengurus dokumen hanya karena mau membawa 1 atau 10 kg sosis dari Indonesia ke Jepang, sementara di Jepang juga banyak pilihan sosis, mulai dari sosis ikan, ayam, sapi, hingga sosis babi. Lain halnya jika importasi dilakukan dalam konteks bisnis atau perniagaan, atau seseorang mengurus pengiriman bahan-bahan biologis asal hewan untuk keperluan penelitian, memang harus diurus dan tidak ada pilihan lain. 

Sebagai informasi tambahan, pada pertengahan Juli 2023, Jepang menghentikan importasi produk ayam dari negara bagian di Brazil, Santa Catarina, dan sebelumnya Espirito Santo, sebagai buntut dari laporan adanya kasus flu burung, highly pathogenic avian influenza, meskipun bukan dari peternakan komersil. Hal tersebut sama seperti pada saat Jepang pernah menghentikan impor produk daging ayam dari Indonesia akibat wabah virus flu burung pada tahun 2004. Hal ini menjadi bukti  bahwa Jepang memang menerapkan standar ketat terhadap pencegahan risiko penyebaran penyakit yang mengancam stabilitas nasional. 

Terakhir, baru-baru ini masyarakat dunia sudah mendapatkan pengalaman dengan kasus pandemi SARS-CoV2 atau COVID-19 yang saat ini masih ada kasusnya (di Jepang), meskipun sudah jauh membaik. Pandemi tersebut terjadi akibat suatu proses penyebaran dengan mekanisme dan karakteristik yang bisa saja berbeda dari penyakit lain, tetapi intinya pola penyebaran dari satu wilayah ke wilayah lain terfasilitasi dengan mobilitas manusia yang sudah tidak dapat dibatasi pada era globalisasi ini. Sehingga, seperti sudah disampaikan oleh banyak ahli, bahwa setelah SARS-CoV2, akan ada risiko pandemi selanjutnya, yang seharusnya kita antisipasi bersama. Semoga tulisan singkat ini memberikan manfaat meningkatnya awareness masyarakat terhadap isu kekarantinaan yang terkait pelarangan membawa produk asal hewan ke suatu negara.

NB: Artikel ini selain membantu upaya penyadar-tahuan publik, juga saya dedikasikan untuk para kolega dokter hewan karantina di berbagai wilayah, yang berada di garis depan dalam tugas pengamanan negara dari risiko penyebaran penyakit.
Veterinary anatomist | School of Veterinary Medicine and Biomedical Sciences, IPB University | Ph.D. student, Joint Graduate School of Veterinary Sciences, Tottori University, Japan

Post a Comment

Komentar atau tidak komentar tetap thank you.