For professional profile please visit my LinkedIn

Bagaimana Mahasiswa Kedokteran Hewan di Jepang Belajar Anatomi Veteriner?

Barangkali ada yang bertanya-tanya, seperti apa pendidikan dokter hewan di Jepang? atau bagaimana pembelajaran anatomi veteriner di Jepang? Nah, khusus untuk pembelajaran anatomi veteriner, Saya akan bercerita apa yang saya alami dan perhatikan selama menjadi Teaching Assistant (TA) dalam mata kuliah Anatomi Veteriner di Kampus Tottori. Sebagai Teaching Assistant, saya berkesempatan mengikuti proses pembelajaran mahasiswa program dokter hewan. Teaching assistant merupakan salah satu jenis kerja paruh waktu intrakampus yang terkait akademik, dengan honor dihitung per jam, sama seperti kerja paruh waktu pada umumnya di Jepang. Beberapa tugasnya antara lain membuat preparat anatomi dan histologi, menyiapkan keperluan praktikum, dan membantu mahasiswa pada saat praktikum. Tugas yang saya sebutkan terakhir, tentu saja menuntut komunikasi dengan mahasiswa program dokter hewan, dan tentu saja bukan hal yang mudah bagi saya. Tapi untungnya, saya tidak sendiri, ada beberapa mahasiswa senior yang membantu. Seringnya, saya menjadi teman diskusi Sensei, sebutan bagi Professor dan Associate-nya, yang mengajar serta para mahasiswa senior tadi. 

Lalu, bagaimana mahasiswa jurusan kedokteran hewan di Jepang belajar Anatomi Veteriner? Apa yang saya tuliskan dalam blog post  kali ini tentu saja tidak lepas dari perspektif saya sebagai dosen yang mendalami bidang yang sama (di kampus IPB, Bogor, Indonesia). Selain itu, tulisan ini khusus menggambarkan situasi yang ada di kampus Tottori. 

OK, kita mulai dari kurikulum pendidikan Anatomi Veteriner. Anatomi Veteriner merupakan ilmu kedokteran hewan dasar yang dipelajari mahasiswa tahun pertama dan kedua. Pada tahun pertama, mahasiswa akan mendapatkan kuliah (teori), kemudian pada tahun kedua akan mengikuti praktikum, baik anatomi makroskopis maupun mikroskopis (histologi). Di semester pertama pada tahun kedua, mahasiswa jurusan kedokteran hewan mengikuti kelas praktikum. Di kampus Tottori sendiri, praktikum anatomi veteriner dilaksanakan satu kali dalam seminggu, dimulai dari jam ke-1 (Pukul 08:45) sampai jam ke-5 berakhir (Pukul 18:00), dengan jeda istirahat siang pukul 12:00-13:00. Jika dikurangi jam istirahat, mahasiswa belajar anatomi veteriner sekitar 8 jam per minggu.

Dalam satu semester, pada tiga pertemuan pertama, mahasiswa akan mempelajari osteologi, menggunakan tulang sapi dan kuda, serta beberapa kerangka hewan lain seperti anjing, babi, kucing, manusia, dan lainnya yang ada di ruangan, sebagai pembanding (anatomi komparatif). Khusus osteologi, mahasiswa diberikan tugas menggambar atau membuat ilustrasi tulang yang sedang dipelajari. Bukan unsur artistik yang dinilai, karena memang bukan kelas seni rupa, melainkan pemahaman terhadap bagian dan unsur yang ada pada tulang dari perspektif gambar yang dibuat. Misalnya seorang mahasiswa menggambar tulang vertebra (vertebrae cervicales I, atlas) tampak dorsal, ia wajib menampilkan foramen vertebrale laterale, dan seterusnya. 

Lima pertemuan berikutnya, mahasiswa akan belajar menggunakan kadaver sapi (pedet) berbobot 30-40 kg, mempelajari miologi, neuroangiologi, dan organologi secara komprehensif. Biasanya sapi pedet yang digunakan adalah dari sapi Jersey dan atau Holstein, yang merupakan sapi yang dimanfaatkan sebagai penghasil susu (di Tottori juga terdapat sentra peternakan sapi perah). Mahasiswa dalam grup kecil beranggotakan 5-6 orang akan mendapatkan satu kadaver sapi untuk disayat lapis demi lapis secara mandiri sesuai arahan dosen, tentu saja dimulai dengan membuat sayatan kulit dan menguakkan kulit sehingga area subkutan dan otot-otot permukaan akan terlihat. Setiap sebelum melanjutkan sayatan pada area tertentu, dosen akan memberikan demonstrasi tahapan-tahapannya, dan akan mempelajari area itu mulai dari ototnya, syaraf, pembuluh darah, serta organ (menyesuaikan regio). 

Puncak dari praktikum menggunakan preparat sapi ini adalah praktikum menggunakan sapi Wagyu (dari ras Japanese black cattle) dewasa, berbobot sekitar 500 kg. Tentu saja bukan dari sapi penghasil daging Wagyu grade terbaik yang digunakan, melainkan sapi yang dipelihara di fasilitas peternakan (termasuk untuk pendidikan) di kampus. Akan tetapi bagi saya, otot dengan komposisi jaringan lemak intramuskular (marbling) pada sapi untuk praktikum anatomi pun, sudah terlihat sangat lembut (semoga semester ini saya sempat mengambil foto potongan daging wagyu sapi praktikum). Kembali lagi ke praktikum, sapi akan disiapkan oleh Sensei dari Divisi Reproduksi (dan ternak besar), kemudian dilakukan pembiusan (general anaesthesia) serta proses eksanguinasi (pengeluaran darah, untuk menidurkan sapi). Setelah sapi dinyatakan mati, mahasiswa akan bekerja sama melakukan preparir dan pembedahan di beberapa regio, mengulang apa yang dipelajari dengan preparat awetan sebelumnya. Kalau boleh saya bilang, praktikum ini adalah praktikum yang paling melelahkan dalam satu semester pembelajaran anatomi.

Lanjut lagi, pada empat pertemuan berikutnya mahasiswa mempelajari anatomi veteriner menggunakan kadaver anjing. Materi yang dipelajari kurang lebih sama dengan sebelumnya, sehingga mahasiswa dapat membandingkan antara sapi dan anjing, sebagai dua jenis hewan berbeda. Anjing yang digunakan dalam praktikum ini adalah anjing yang sebelumnya digunakan dalam penelitian, dari ras Beagle. Di akhir semester, para mahasiswa mempelajari anatomi unggas (satu pertemuan). 

Contoh halaman isi buku teks yang digunakan dalam mempelajari anatomi veteriner di Jepang (Judul: 家畜比較解剖図説 下, Penulis: åŠ è—¤ 嘉太郎 (è‘—), 山内 昭二 (è‘—), 2003)

Jika saya membandingkan pembelajaran anatomi veteriner di kampus ini dan kampus IPB, dari sisi materi misalnya, tentu saja mahasiswa IPB memiliki pengalaman yang lebih 'kaya', lebih detail. Belum lagi, di IPB, mahasiswa dikenalkan dan belajar terminologi anatomi yang merujuk kepada Nomina Anatomica Veterinaria yang  dijadikan rujukan secara global. Lain halnya di Jepang, pengajaran anatomi diberikan dengan terminologi yang mengacu pada Nomina Anatomica Veterinaria Japonica. Meskipun begitu, dalam buku teks yang digunakan, juga terdapat terminologi latin atau inggrisnya, bagian yang juga membantu saya ketika harus menjawab ketika diminta mengkonfirmasi bagian atau unsur tertentu. 

Di sisi lain, mahasiswa di Jepang yang diberikan kesempatan melakukan sayatan secara mandiri, memiliki pengalaman motorik yang lebih banyak. Selain itu, pemahaman topografi yang mungkin lebih baik jika diberikan dengan durasi belajar yang sama (pendapat subyektif). Tentu saja, setiap metode dan sistem pembelajaran tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya. Akan tetapi, yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa kualitas pembelajaran anatomi veteriner Indonesia, khususnya di kampus IPB, tidak kalah dengan yang ada di Jepang. Saya kira, pemahaman anatomi para dokter hewan lulusan Indonesia juga tidak kalah. Tentu itu menurut saya. Kalau menurut rekan-rekan bagaimana? Ada hal yang ingin di-share? Kita bisa diskusikan di kolom komentar
Veterinary anatomist | School of Veterinary Medicine and Biomedical Sciences, IPB University

2 comments

  1. Terimakasih dok
    1. terima kasih sudah membaca.
Komentar atau tidak komentar tetap thank you.