For professional profile please visit my LinkedIn

Sains: Upaya Destruktif terhadap Ajaran Tauhid?

Bismillahirrahmanirrahim, tulisan ini merupakan pandangan yang secara singkat mengulas masalah sains dan agama (Islam), dari perspektif akademisi. Kita tahu, mempelajari ilmu duniawi memang tidak sampai pada derajat fardhu 'ain seperti mempelajari ilmu agama yang memang menjadi suatu keharusan bagi setiap muslim. Akan tetapi, mempelajari ilmu duniawi yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syariat boleh dan bisa sampai pada derajat fardhu kifayah. Isyarat tentang pentingnya mempelajari ilmu pengetahuan juga bisa kita temukan di dalam Al-Quran maupun Hadits, dan tentu sudah banyak ulama yang membahas hal tersebut. 

Salah satu dari sekian banyak ayat Al-Quran, di dalam Surat Al-Jatsiyah ayat 13, Allah berfirman (yang terjemahannya): "Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir."

Dari banyaknya ayat Al-Quran maupun hadits yang menjelaskan perlunya mempelajari ilmu pengetahuan, kita tentu sepakat bahwa dunia dan seisinya ini merupakan mahluk ciptaan Allah yang tunduk pada ketentuan-ketentuan-Nya. Selain itu, semua mahluk tersebut (manusia, hewan, tumbuhan, alam) menjadi bukti kekuasaan Allah, yang mengantarkan dan ikut berkontribusi membangun ketauhidan. Melalui proses berpikir dan mempelajari fenomena-fenomena mahluk tadi, konstruksi tauhid seharusnya dapat semakin kuat. 

Di dalam Al-Quran Allah menjelaskan proses terciptanya manusia, tentang garis orbit di tata surya, tentang turunnya hujan, tentang fenomena api di dasar laut, tentang pertemuan dua laut namun airnya tidak bercampur, serta penjelasan tentang besi yang memiliki kekuatan luar biasa untuk dimanfaatkan, dan lain sebagainya. Tentu tidak semua hal dijelaskan secara rinci, tetapi itu menjadi isyarat kita mempelajari dan memikirkan agar kita dapat mengambil manfaat. Ilmuwan tentu sudah banyak yang mempelajari material besi, mulai dari struktur, sifat-sifat mekanisnya, serta perubahannya jika dikombinasikan dengan struktur atau material lain, sehingga saat ini bisa kita temukan material yang kuat sekaligus memiliki sifat tambahan lain seperti antikarat. Hasil dari proses mempelajari dan menemukan fakta logis ini memberikan banyak manfaat. Itu salah satu contohnya saja. 

Di dunia pendidikan, seorang guru atau dosen yang menjelaskan suatu mekanisme dan fenomena alam serta mahluk tentu menggunakan sudut pandang yang bersumber dari hidayah atau petunjuk akal, sebatas apa yang diketahui manusia melalui proses pencarian dan penelitian. Dalam proses berkembangnya SARS-CoV2, kajian medis menerangkan kemungkinan munculnya penyakit tersebut akibat adanya mutasi virus yang memang ditemukan pada hewan seperti kelelawar melalui proses sedemikian rupa. Akan tetapi, menjelaskan fenomena alam dengan ilmu manusia yang terbatas ini tidak kemudian menghilangkan perspektif petunjuk lain yang merupakan puncak hidayah, yaitu agama. Sebagai seorang muslim kita meyakini semua fenomena mahluk berjalan dan berproses atas kehendak Allah Subhanahuwata'ala. Tentu tidak bisa kemudian kita mengatakan kajian medis tersebut sesat dan menyesatkan, atau penjelasan fenomena tersebut mengarah kepada kekufuran karena mengingkari bahwa sejatinya penyakit dan virus tersebut ada dan tercipta atas kehendak Allah.

Sehingga, dari perspektif akademisi, segala penjabaran mekanisme dan fenomena yang terjadi pada mahluk yang dihasilkan proses panjang upaya berpikir manusia melalui kajian dan penelitian, tidak seharusnya dimaknai sebagai ajaran yang mengesampingkan adanya Dzat Yang Maha Menguasai segala yang ada di dunia ini. Apalagi sampai melihat bahwa perspektif sains merupakan upaya destruktif bagi tauhid, yang bukan tidak mungkin berpeluang melahirkan dan memperbanyak generasi antisains. Ini tentu saja kontraproduktif bagi cita-cita dan harapan kembalinya kejayaan dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan, yang saat ini didominasi oleh negara Barat. Cara pandang skeptis terhadap sains juga dapat melemahkan upaya melawan berkembangnya pseudosains di masyarakat. 

Mempelajari sains bukanlah sesuatu yang diharamkan, bahkan jika memiliki urgensi bagi kemaslahatan umat dapat menjadi suatu kewajiban. Mempelajari sains juga sudah seharusnya memperkuat keimanan bagi kita yang beragama, artinya mengaji segala ayat-ayat kauniyah dibarengi dengan output mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, bukan hanya kepuasan dan kebanggan diri semata. Kita semua berharap akan muncul semakin banyak ilmuwan, khususnya dari Indonesia, yang akan meramaikan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan di kancah dunia. 




Veterinary anatomist | School of Veterinary Medicine and Biomedical Sciences, IPB University | Ph.D. student, Joint Graduate School of Veterinary Sciences, Tottori University, Japan

Post a Comment

Komentar atau tidak komentar tetap thank you.