For professional profile please visit my LinkedIn

Trenggiling, Masyarakat Kita Penentu Kelestariannya

Siapa yang belum pernah melihat trenggiling? Satwa tersebut saat ini keberadaannya di alam semakin memprihatinkan. Satwa yang memiliki nama latin Manis javanica (spesies yang ada di Indonesia dan Malaysia) dan nama umum pangolin ini banyak diburu oleh masyarakat untuk dijual kepada penadah, yang tentu saja bermain dalam perdagangan satwa ilegal. 

Sabtu (1/6/2013), Himpunan Minat Profesi Satwaliar (Himpro Satli) Fakultas Kedokteran Hewan IPB bekerja sama dengan berbagai pihak menyelenggarakan Seminar Nasional tentang trenggiling. Seminar bertajuk Pangolins: Know Them Well, Treat Them Right berlangsung di Auditorium Andi Hakim Nasution Kampus IPB Dramaga-Bogor, dan dibuka secara resmi oleh drh. Srihadi Agungpriyono, PhD, PAVet (K). Seminar ini menghadirkan narasumber yang berkompeten di bidangnya, yaitu Dr.Chairun Nisa' (Staf Bagian Anatomi FKH IPB, peneliti trenggiling), Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS (KSHE), Prof. Dr. Gono Semiadi (LIPI), dan perwakilan dari Wildlife Conservation Society (WCS) .


Ilustrasi: Sunda pangolin (discoverwildlife.com)
Dr. drh. RP Agus Lelana, Sp.MP, MSi, selaku pembina Himpro Satwaliar menyampaikan bahwa saat ini kita berada pada uncertain condition, di mana isu ini banyak diperbincangkan dalam pertemuan yang mengusung konsep One Health. Banyak muncul emerging dan reemerging disease, dan hampir setiap 8 bulan sekali muncul penyakit-penyakit baru, 75% bersifat zoonosis, dan 60% bersumber satwaliar. Hal ini membutuhkan perhatian dan salah satunya dengan forum-forum ilmiah seperti seminar ini. 

Menurut Dr. Chairun Nisa', satwa ini memiliki keunikan, antara lain memiliki sisik seperti reptil, tetapi sebenarnya merupakan satwa mamalia yang menyusui anaknya. Trenggiling atau pangolin adalah hewan mamalia (menyusui) yang tidak bergigi. Satwa ini hidup di wilayah hutan hujan tropis dataran rendah. Morfologi secara umum trenggiling adalah berbentuk memanjang, dengan panjang tubuh mulai dari kepala sampai pangkal ekor sekitar 58 cm, sedang panjang ekornya sekitar 45 cm, beratnya sekitar mampu mencapai 27 kg. Umumnya trenggiling betina lebih pendek dari trenggiling jantan. Ia memiliki lidah yang dapat dijulurkan hingga sepertiga dari panjang tubuhnya untuk mencari semut disarangnya. Disamping itu trenggiling mempunyai 2 pasang kaki yang pendek, mulut, mata, telinga dan sisik yang sangat keras.

Prof. Gono Semiadi (LIPI) dan Dr. Chairun Nisa' (FKH IPB) dalam sesi diskusi (Foto: Agung)

Sisik tenggiling yang bersifat keras, tebal dan tajam itu membantu melindungi dirinya dari musuh. Selain itu satwa ini melindungi dirinya dari musuh dengan cara menggulung badannya hingga seperti bentuk bola. Ia dapat pula mengibaskan ekornya yang bersisik tajam sehingga bisa melukai pengganggunya.

Satwa yang memiliki persebaran di Indonesia, di wilayah Kalimantan, Sumatera, dan Jawa ini kerap menjadi target perburuan liar. Beliau menambahkan, masyarakat awam sangat mudah diperalat oleh para penadah yang menjanjikan ratusan ribu rupiah untuk setiap ekor trenggiling. Padahal, masyarakat sendiri nantinya yang akan merasakan dampak akibat terganggunya keseimbangan ekosistem di daerah tersebut. 

Harga daging trenggiling di pasar internasional, bisa mencapai 112 US dollar per kg atau sekitar satu juta rupiah. Sementara itu, harga jual di restoran bisa mencapai 210 US dollar, atau sekitar dua  juta rupiah per kg. Belum lagi sisiknya yang dihargai per keping sebesar 1 dollar. Pengumpul lokal di Indonesia biasanya mendapat bayaran sampai 250 ribu rupiah untuk setiap kg daging trenggiling. 

Harga jual daging trenggiling yang menggiurkan inilah yang membuat banyak orang memburu trenggiling yang hidup di Indonesia (juga di Malaysia dan Thailand) untuk diekspor daging dan kulitnya (sisik) secara ilegal ke para peminat di luar negeri, antara lain ke China, Singapore, Thailand, Vitenam, dan Laos. Menurut berbagai sumber, daging trenggiling tersebut digunakan sebagai bahan kosmetik, obat kuat, dan santapan di restoran, sementara kulitnya untuk bahan pembuatan shabu. Hal ini sudah dibuktikan secara ilmiah oleh peneliti LIPI bahwa di dalam sisik trenggiling, terdapat kandungan tramadol hydrochloride, senyawa yang digunakan sebagai analgesik, serta ada pada shabu-shabu.  

Dr. Chairun Nisa' menyampaikan, perlu adanya kerjasama antara berbagai pihak untuk dapat mencapai keberhasilan dalam pelestarian satwa, termasuk trenggiling, baik antara dokter hewan, pihak kehutanan, maupun dari peneliti-peneliti terkait.

Seminar Nasional yang juga dihadiri oleh banyak mahasiswa dari organisasi mahasiswa pemerhati satwa liar dari Fakultas Kedokteran Hewan se-Indonesia ini merupakan agenda rutin Himpro Satwaliar, yang merupakan kegiatan ilmiah untuk peningkatan wawasan. Turut hadir perwakilan mahasiswa dari FKH Universitas Airlangga, PKH Universitas Brawijaya, dan PKH Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

Dengan adanya pemaparan dalam seminar ini, diharapkan para akademisi, serta masyarakat umum memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk bersama menjaga satwa kekayaan alam Indonesia, menuju kedaulatan konservasi. Salam lestari! (DDC)
Veterinary anatomist | School of Veterinary Medicine and Biomedical Sciences, IPB University | Ph.D. student, Joint Graduate School of Veterinary Sciences, Tottori University, Japan

3 comments

  1. akhirnya postingan 1 Juni yg udah di-draft dari sebulan yg lalu, muncul juga... hehe..
    Nice info masdab! saya baru tahu harga trenggiling bisa mahal gitu sisiknya ><

    anyway, Save Trenggiling! Salam Lestari! :D
    1. hehehe, iya, draftnya udah siap, jd kmren tinggal info aktualnya yg dimasukin. Iya eh, mahal, coba kita bikin murah meriah, ga kan diburu deh,,
      Tks udah mampir.
      Salam lestari!
  2. When the long journey by plane, what can you do if you are bored with the entertainment offered by the airline
    suksestoto
Komentar atau tidak komentar tetap thank you.