For professional profile please visit my LinkedIn

Daging Satwa Liar dan Risiko Penyakit Zoonotik

Salah satu bahan yang memiliki peran dalam risiko penyebaran penyakit zoonotik adalah bahan pangan asal hewan. Naipospos (2010) menyatakan bahwa bahan pangan asal hewan merupakan bagian penting dari diet manusia sejak manusia berburu hewan. Perburuan dan perdagangan satwa liar masih banyak terjadi di beberapa daerah di Indonesia dan menjadi salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian. Perdagangan daging atau karkas satwa liar (bushmeat) di pasar-pasar tradisional sangat berisiko dalam menyebarkan penyakit zoonotik. 
Perburuan satwa liar oleh manusia merupakan praktik yang dapat membawa risiko substansial dalam transmisi antarspesies. Risiko penyakit zoonotik yang muncul akibat kegiatan perburuan dan konsumsi daging satwa liar menjadi kepentingan global. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan kepadatan populasi manusia, perdagangan global, dan konsekuensi atas meningkatnya kontak antara manusia dan hewan atau satwa (Wolfe et al. 2005). Di beberapa daerah di Indonesia, masyarakat tradisional yang tingkat ekonomi dan pendidikannya rendah cenderung lebih banyak melakukan perburuan satwa untuk dijual kepada penadah yang menjual produk daging atau karkas satwa liar tersebut. Di Indonesia contohnya, perburuan Trenggiling (Manis javanica) sangat marak mengingat harga jual daging trenggiling yang sangat tinggi, mencapai 1 juta per kg.

Monyet dan kalong bakar, pangan asal satwa liar (bushmeat) yang diperdagangkan di Tomohon (sumber) 
Beberapa faktor pemicu yang disebut-sebut sebagai pemicu munculnya zoonosis satwa liar adalah globalisasi perdagangan, pasar daging satwa liar (bushmeat), pasar satwa liar, dan konsumsi pangan eksotik. Salah satu contohnya adalah pasar tradisional di Tomohon, yang selain menjual kebutuhan pangan secara umum, juga menjual pangan asal satwa seperti daging ular, daging babi hutan, daging monyet, tikus panggang, dan kucing bakar. Kebiasaan masyarakat yang 'percaya' terhadap mitos tertentu yang disebabkan oleh konsumsi makanan-makanan yang tidak umum, ataupun 'salah kaprah' masyarakat dalam menyikapi suatu informasi, menjadi faktor penting dalam pola hidup masyarakat Indonesia. 

Contohnya, berburu rusa untuk diambil ranggahnya yang dipercaya mempunyai khasiat obat. Faktanya, bagian velvet (saat ranggah muda) lah yang memiliki khasiat (berdasar riset ilmiah), dan bisa diperoleh dengan mengelupas velvet tanpa mematahkan ranggah atau bahkan membunuh. Selain itu, badak diburu untuk diambil culanya yang dipercaya berkhasiat, padahal itu tidak benar. Contoh lain yang lebih ekstrim, budaya masyarakat di beberapa daerah yang mengonsumsi otak monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), sangat berisiko. Informasi yang berkembang dari aktivis perlindungan satwa bahwa di daerah pinggiran Jakarta, beberapa warga kerap mengonsumsi otak dari monyet yang sudah tidak bisa (sudah tua) digunakan untuk atraksi topeng monyet.

Aktivitas yang terkait dengan perburuan dan perdagangan satwa liar menimbulkan munculnya risiko yang berbeda-beda. Sehingga yang menjadi perhatian bukan hanya proses perburuannya yang meningkatkan kontak antara manusia dan satwa liar, melainkan juga transportasi, pemasaran, proses pengolahan, sampai konsumsi daging satwa liar tersebut (Wolfe et al. 2005).

Faktor risiko lainnya yang dikaitkan dengan munculnya penyakit zoonotik dari satwa liar adalah meningkatnya konsumsi daging satwa liar (bushmeat) di beberapa daerah, bahkan di beberapa belahan dunia. Konsumsi daging satwa liar di Afrika Tengah dan Amazon misalnya, secara berurutan mencapai 1-3.4 juta ton dan 67-164 juta kilogram setiap tahunnya. Simian foamy virus diidentifikasi sebagai retrovirus yang menginfeksi manusia yang mengalami kontak langsung dengan daging satwa primata (Chomel 2007) Hal ini mengindikasikan bahwa penyakit zoonotik tersebut lebih frekuen, menyebar secara luas, dan lebih variatif dibandingkan dengan sebelumnya. Contoh lain adalah terjadinya outbreak Ebola virus di Afrika Barat juga berkaitan dengan konsumsi daging simpanse (George-Courbot et al. 1997).

Tindakan pencegahan dan pengendalian risiko penyakit zoonotik yang paling efektif dan efisien adalah tindakan yang dilakukan pada sumber penyakit, yaitu pada satwa liar. Risiko penyakit zoonotik akibat konsumsi satwa liar dapat dicegah dengan memperkuat dan menjalankan peraturan untuk tidak melakukan perburuan terhadap satwa liar. Selain itu, pemberian edukasi kepada masyarakat terkait bahaya dan risiko penyakit zoonotik yang dapat muncul akibat pola hidup yang gemar mengonsumsi daging satwa liar (bushmeat).

Referensi
Chomel B.B. (2007). Wildlife zoonoses. Emerging infectious diseases. Vol. 13, No. 1 [terhubung berkala] http://www.cdc.gov./EID/13/1/06-0480.htm [1 September 2012].
Georges-Courbot MC, Sanchez A, Lu CY, Baize S, Leroy E, Lansout-Soukate J. 1997. Isolation and phylogenetic characterization of Ebola viruses causing different outbreaks in Gabon. Emerg Infect Dis. 3:5962.
Naipospos TSP. 2010. Peran dokter hewan dalam pencapaian millennium development goals. [terhubung berkala] http://tatavetblog.blogspot.com/ 2010/06/peran-dokter-hewan-dalam-pencapaian_13.html  [26 Agustus 2012].
Wolfe ND, Daszak P, Kilpatrick AM, Burke DS. 2005. Bushmeat hunting, deforestation, and prediction of zoonotic disease emergence. Emerging Infectious Diseases Vol.11 No.12.
Veterinary anatomist | School of Veterinary Medicine and Biomedical Sciences, IPB University | Ph.D. student, Joint Graduate School of Veterinary Sciences, Tottori University, Japan

2 comments

  1. Stop bushmeat. Satwa liar juga punya hak untuk hidup. Terutama yang jumlah spesiesnya tinggal sedikit. Mreka perlu dilindungi.
    1. betul! let them free.
Komentar atau tidak komentar tetap thank you.