For professional profile please visit my LinkedIn

Senyum dari Habitat Terakhir Badak Jawa

Tulisan ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya mengenai #RhinoTrip. Hari kedua RhinoTrip tersebut, kami melakukan perjalanan menuju habitat badak jawa di daerah Cigenter. Sebelum ke Cigenter, kami menyeberang selama 1,5 jam menuju Pulau Handeleum untuk mengurus perizinan di Kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Pulau Handeleum. Di Pulau Handeleum ini, terdapat beberapa jenis satwa liar, satu yang kami temui adalah rusa timor (Cervus timorensis) yang gambarnya sempat saya abadikan sebelum akhirnya berlari masuk ke area hutan. 


Gambar samping: Rusa timor bersama anaknya di Pulau Handeleum (atas). Feses rusa timor, bentuk dan konsistensi mirip seperti feses kambing, tetapi dengan ukuran sedikit lebih besar (bawah).


Bertolak dari Pulau Handeleum, perjalanan kami lanjutkan menyeberang  pulau, menuju Cigenter, masih dalam wilayah Pulau Jawa. Perjalanan menyusuri muara dan sungai Cigenter kami tempuh dengan menggunakan kano, atau oleh masyarakat disebut jukung, dipandu oleh petugas taman nasional. Beberapa lama kami mendayung jukung tersebut, terlihat tanaman langkap (Arenga Palm, Arenga obtusifolia) di sekitar sungai. Rasa penasaran semakin membuncah ketika saya teringat pemaparan Dr. Novianto Bambang tentang tanaman langkap yang menjadi invasive species bagi tanaman lain, termasuk tanaman yang menjadi pakan salah satu badak endemik Indonesia ini.

Menyusuri sungai Cigenter (kiri). Arenga palm banyak tumbuh di kawasan TNUK (kanan) (Danang/JurnalMasdab)

Sampai di Cigenter, kami disambut oleh petugas taman nasional, yang memandu kami untuk melakukan tracking di kawasan hutan tersebut. Sumardi, salah satu petugas menjelaskan bahwa di wilayah Cigenter ada sekitar 7 ekor badak jawa. Di habitatnya, badak jawa tersebut melakukan berbagai aktivitas seperti berkubang untuk mengatur suhu atau pun kelembaban tubuh mereka. Selain itu, badak jawa memiliki kebutuhan akan garam. "Sesekali badak jawa akan mendekat ke muara sungai atau pantai, untuk penggaraman.", jelas salah satu petugas. 

Selama di Cigenter, tidak satupun badak jawa kami temui, wajar, tidak mudah untuk bisa bertemu dengan badak jawa. Penciuman dan pendengarannya yang sensitif, mampu mengarahkan badak jawa untuk menghindari intervensi manusia. Dedi, seorang ranger di TNUK, selama 12 tahun pun baru sekali benar-benar melihat badak jawa. Para peneliti biasanya melakukan persiapan yang lama untuk bisa melihat badak jawa, termasuk berminggu-minggu berada di hutan untuk menghilangkan "bau" manusianya. 

Salah satu bekas kubangan badak jawa di Cigenter (Danang/JurnalMasdab)

Kami melihat bekas-bekas kubangan badak jawa yang masih basah dan berlumpur. Menakjubkan, saya merasa memiliki kemampuan seperti Chantal Dubois dalam film Madagaskar 3, yang mampu berimajinasi terhadap rekonstruksi aktivitas satwa dari aroma tubuh satwa yang tertinggalMembayangkan badak jawa berkubang sambil mengibaskan ekornya (elevasi ekor) layaknya badak yang mau kawin. Lebih menggembirakan lagi, kami menemukan jejak salah satu badak jawa yang ada di Cigenter. "Jejak badak ini umurnya sekitar 1-2 hari, karena masih belum banyak berubah dan belum ada cacing.", jelas Sumardi. "Ini jejak kaki si Cengkrong, kami sudah hafal.", tambahnya. Cengkrong merupakan nama yang diberikan oleh para petugas pada salah satu badak jawa yang ada di lokasi tersebut untuk memudahkan identifikasi. Kami semua, para media dan tim WWF Indonesia bergembira bisa mendapat kepastian bahwa masih ada badak yang beraktivitas di daerah tersebut tidak kurang dari 2 hari sebelumnya.

Jejak kaki salah satu badak jawa ditemukan di Cigenter. Jejak tersebut diduga berumur kurang dari 2 hari 
Meskipun kami tidak bertemu dengan badak jawa di Cigenter, di Kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III, di kecamatan Sumur, kami diberi kesempatan untuk melihat hasil rekaman videotrap yang merekam aktivitas 35 badak yang berbeda. Rekaman yang ditunjukkan adalah hasil monitoring badak jawa per desember 2011 yang dilakukan oleh tim ROAM (Rhino Observation and Activity Management) dari 44 buah videotrap yang tersebar di berbagai spot. Identifikasi badak satu dengan yang lain dilakukan melalui pembedaan ukuran tubuh, ada atau tidaknya cula, identifikasi pola dan tekstur kulit, dan lain sebagainya. Dari 35 badak yang berbeda tersebut, diidentifikasi 13 ekor betina dan 22 jantan, terdiri dari 30 ekor badak dewasa dan 5 ekor juvenil (3 betina, 2 jantan). "Adanya 5 ekor anakan badak di antara 13 betina merupakan proporsi yang lumayan, masih ada peluang untuk ada peningkatan populasi sampai 20 persen.", Tutur Haryono yang menjabat sebagai Kepala Kantor Seksi Pengelolaan TN Wilayah III.

Gambar badak jawa yang tertangkap dengan videotrap (© Balai TNUK)

Selain badak jawa, banteng (Bos javanicus) dan satwa lain juga dapat diamati. Searah jalan pulang, kami menepikan jukung di kawasan padang penggembalaan Cidaon. Inilah salah satu spot yang dapat digunakan untuk melakukan pengamatan terhadap banteng, babi hutan, merak, dan satwa lainnya. Sayangnya, pagi itu kami tidak menemukan kawanan banteng, sudah kesiangan. Biasanya, aktivitas banteng di padang penggembalaan Cidaon sering pada pagi dan sore hari. Melalui tulisan ini, saya mengajak para pembaca  dan blogger untuk terus peduli dengan keanekaragaman hayati Indonesia, sebagai negara megabiodiversitas, khususnya badak jawa dan satwa endemik Indonesia lain pada umumnya. Yang indah, biarkan lestari. Salam lestari!

Thanks to:


Veterinary anatomist | School of Veterinary Medicine and Biomedical Sciences, IPB University | Ph.D. student, Joint Graduate School of Veterinary Sciences, Tottori University, Japan

Post a Comment

Komentar atau tidak komentar tetap thank you.