For professional profile please visit my LinkedIn

Listeriosis

LISTERIOSIS
(Irma A Pratiwi, Danang D Cahyadi, Risma A, Divo Jondriatno, Andrini A Wardhani, Trismawati W, Ayu A Azhari)

Pendahuluan
Listeriosis merupakan suatu penyakit pada hewan dan manusia yang dapat menunjukkan berbagai macam gejala klinis.  Beberapa penelitian terakhir menyatakan bahwa sebagian besar infeksi bersumber dari makanan (foodborne) yang terkontaminasi (Ueda et al. 2006) dan infeksi secara zoonotik jarang terjadi (Krauss et al. 2003). Listeriosis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari genus Listeria, dengan fokus utama pada penyakit yang disebabkan oleh Listeria monocytogenes.  Bakteri ini dapat ditemukan di seluruh dunia di dalam saluran pencernaan burung, laba-laba, binatang air yang berkulit keras (Crustacea), dan mamalia selain manusia.  Pada manusia, infeksi L. monocytogenes dapat menyerang hampir setiap organ tubuh.  Dalam tiga puluh tahun terakhir, Listeria sp. termasuk L. monocytogenes dan L. ivanovii, telah berhasil diisolasi dari berbagai macam sumber.  Selain manusia, setidaknya lebih dari 42 spesies mamalia dan 17 spesies burung menjadi inang Listeria sp.  Sebanyak 5–10% dari populasi manusia pernah ditemukan L. monocytogenes di dalam saluran pencernaan tanpa memperlihatkan gejala infeksi (Rocourt 1994).

Kasus listeriosis pertama kali dilaporkan oleh E.G.D. Murray setelah mengisolasi L. monocytogenes dari seekor kelinci pada tahun 1926.  Sejak saat itu, Listeria menjadi salah satu bakteri patogen pada hewan, yang menyebabkan circle disease pada ruminansia (sapi, kambing, dan domba), babi, anjing, dan kucing.  Hewan yang terinfeksi akan berjalan berputar, inkoordinasi, dan sulit berdiri.  Pada manusia, penyakit ini tergolong jarang tetapi termasuk penyakit sistemik fatal yang disebut listeriosis (Bhunia 2008).  Pada tahun 1927 investigasi pada kematian tikus tanah memberikan hasil adanya mikroorganisme baru yang memiliki ciri-ciri sama tetapi dengan nama Listerella monocytogenes.  Namun pada tahun 1939 Komisi Yudisial dari Komite Internasional Bakteriologi Sistematik menolak penamaan Listerella karena telah digunakan untuk spesies lain dari filum Foraminifera.  Pada tahun 1940 Pirie mengajukan nama Listerella menjadi Listeria

Sekitar tahun 1942 Listeria diisolasi dari tentara yang mengalami meningitis.  Pada tahun 1972 L. monocytogenes diduga menjadi penyebab keguguran (Barathawidjaja 2002).  Menurut dokumen standar pemeriksaan L. monocytogenes pada makanan USFDA/BAM tahun 2003, genus Listeria memiliki 6 spesies, yaitu L. monocytogenes, L. innocua, L. seeligeri, L. welshimeri, L. ivanovii, dan L. grayi.   Dari keenam spesies tersebut, diketahui hanya L. monocytogenes yang bersifat patogen terhadap manusia apabila mengontaminasi makanan atau minuman yang dikonsumsi oleh individu tersebut.
 
Kasus listeriosis pada manusia telah dilaporkan di berbagai negara dan termasuk dalam kasus luar biasa.  Kejadian penyakit ini tergolong lebih rendah dibandingkan dengan foodborne illness lainnya, tetapi mendapat perhatian besar karena memiliki tingkat kematian mencapai 20% (Lathrop et al. 2003).  Sekitar akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an penyakit ini menjadi wabah foodborne disease di Amerika Utara (Bhunia 2008).  Pada tahun 1985 di California, Amerika Serikat, sebanyak 142 orang menderita meningitis akibat Listeria sp. dan menyebabkan kematian pada 48 orang setelah mengonsumsi keju yang berasal dari susu yang tidak dipasteurisasi.  Pada tahun 1992 sebanyak 85 orang meninggal akibat kasus listeriosis yang menginfeksi 279 orang setelah mengonsumsi lidah babi cincang (Slutsker dan Schuchat 1999).  Penyakit klinis yang disebabkan oleh L. monocytogenes lebih sering dilaporkan oleh dokter hewan berupa meningoensefalitis pada ruminansia (Miller et al. 2009).

Karakteristik Agen Patogen
Menurut Krauss et al. (2003), L. monocytogenes serovar 1/2a dan 4b merupakan penyebab sebagian besar infeksi pada manusia.  Listeria ivanovii subsp. ivanovii dan L. ivanovii subsp. londoniensis jarang ditemukan sebagai agen patogen, sedangkan spesies L. innocua dan L. seeligeri tidak bersifat patogen.

Listeria sp. berbentuk batang (Krauss et al. 2003), berukuran kecil (diameter antara 0.5 µm sampai 2 µm), dan termasuk bakteri gram positif.  Bakteri ini bersifat tunggal atau membentuk rantai pendek, dan membentuk huruf V atau Y pada palisade.  Beberapa sel berbentuk kokoid sehingga sulit dibedakan dengan Streptococcus.  Listeria tidak memproduksi spora dan tidak membentuk kapsul serta bersifat motil karena memiliki flagela peritrich (Gambar 1).  Kisaran suhu pertumbuhan L. monocytogenes bergantung pada pengolahan makanan karena bakteri tersebut bersifat psikotrofik (Lado 2003).  Motilitas optimum bakteri ini pada suhu 20–25 °C dan dapat tumbuh pada suhu 1–45 °C, dengan pH 4.5–9.2 serta pertumbuhan optimum pada pH 7. Listeria tumbuh baik pada lingkungan yang memiliki tekanan oksigen rendah dan tumbuh pada aktivitas air di bawah 0.93 (Rocourt dan Buchrieser 2007).

Listeria sp. bersifat aerobik, mikroaerofilik, fakultatif anaerobik, katalase positif, memfermentasi glukosa, dan oksidase negatif.  Pertumbuhan Listeria sp. akan meningkat dengan adanya glukosa.  Listeria sp. akan membentuk asam laktat, asetat, dan asetoin pada kondisi aerob.  Pada keadaan anaerob pertumbuhan Listeria sp. didukung oleh pentosa dan heksosa.  Pada beberapa strain yang bersifat aerob, maltosa dan laktosa akan mendukung pertumbuhan bakteri tersebut.  Sumber karbon dan nitrogen primer untuk pertumbuhan  Listeria sp. adalah glukosa dan glutamin.  Beberapa percobaan menyebutkan bahwa strain yang virulen tumbuh lebih cepat pada media yang mengandung besi. Listeria sp. dapat tumbuh pada lingkungan yang mengandung NaCl 10% dan dapat bertahan pada lingkungan yang mengandung NaCl yang lebih tinggi.  Ketahanan Listeria sp. pada pH rendah dan konsentrasi garam yang tinggi sangat bergantung pada temperatur (Rocourt dan Buchrieser 2007) 

 
Gambar 1 Listeria monocytogenes. (Kiri) Bakteri di dalam secondary macrophage, dengan membran vakuola ganda (Haas et al. 2007), (Kanan) Bakteri di dalam sel manusia diamati menggunakan Coloured Transmission Electron Microscope/TEM (Gontier 2011).

Spesies dari Listeria  secara fenotip sulit untuk dibedakan, tetapi kombinasi dari uji hemolisis, produksi asam dari D-xilosa, L-ramnosa, α-metil D-manosida, dan manitol dapat digunakan untuk identifikasi spesies Listeria.  Listeria monocytogenes bersifat β-hemolisis (melisiskan darah dengan sempurna).  Uji CAMP menunjukkan hasil positif (Gambar 2), yang berarti bahwa bakteri memiliki substansi yang dapat bereaksi dengan Staphylococcus aureus (Abbas dan Lichtman  2003).  Uji CAMP (dicetuskan oleh Christie Atkins Munch Peterson) adalah uji standar yang digunakan untuk mengidentifikasi bakteri Streptococcus agalactiae melalui reaksi CAMP yang terlihat.  Uji CAMP dikembangkan untuk mengidentifikasi karakteristik bakteri terhadap sifat melisiskan darah (Bae dan Bottone 1980).  Uji CAMP menggunakan bakteri Staphylococcus aureus (β-hemolisis) dan Streptococcus agalactiae yang bersifat CAMP positif (Hanson 2006b).  Identifikasi rutin Listeria sp. yang diisolasi dari makanan dilakukan dengan menggunakan marker fenotip.  Agen ini dapat bertahan di lingkungan yang ekstrim dengan kandungan garam tinggi (10%) dan diberi agen antimikrobial (Bhunia 2008).  Listeria monocytogenes dapat tumbuh pada silase yang memiliki kualitas buruk (pH ≥ 5). Pada susu yang tidak dipasteurisasi agen dapat tumbuh pada suhu 4 °C (Songer dan Post 2005). 

Gambar 2 Uji CAMP menunjukkan hasil positif untuk Listeria monocytogenes  yang diinokulasi pada bagian sudut kanan β-hemolytic Staphylococcus aureus.  Zona berbentuk mata panah terlihat pada media agar darah yang mengalami proses hemolisis mengindikasikan hasil positif untuk uji CAMP (Hanson  2006a).
Listeria monocytogenes merupakan bakteri yang banyak digunakan dalam mempelajari infeksi bakteri intraseluler.  Bakteri ini dapat bertahan hidup di dalam makrofag dan menghindari mekanisme bakterisidal oleh makrofag.  Adanya Listeria monocytogenes di dalam makrofag memicu produksi IL-2 yang akan menstimulasi sel natural killer, membantu diferensiasi pH 0 menjadi pH 1, dan menstimulasi CD8 CTLs.  Interleukin-2 merupakan sitokin yang disebut hormon leukositotropik serta berperan sebagai stimulan proliferasi sel B dan sel T. CD8 CTLs adalah sejenis sel T yang dapat mengenali peptida antigen dan memiliki kapasitas untuk menginduksi kerusakan pada sel yang terinfeksi.  Ketiga sel ini akan menyekresikan IFN-γ, suatu hormon sitokin yang dihasilkan limfosit akibat induksi antigen, yang berfungsi mengaktivasi makrofag untuk memproduksi oksigen reaktif, menstimulasi produksi antibodi, dan mengopsonisasi bakteri dengan tujuan akhir membantu fungsi efektor makrofag (Abbas dan Lichtman 2003).  Listeria monocytogenes bergerak dari satu sel ke sel lain yang berdekatan dengan membentuk kumpulan actin-rich tails di dalam sitoplasma (Gambar 3).

Selama stadium awal listeriosis, neutrofil dan makrofag bermigrasi ke hati dan limpa membentuk mikroabses. Neutrofil menunjukkan peran penting dalam mengontrol fase akut dan memediasi destruksi hepatosit in vivo. Produk yang dilepaskan makrofag dan neutrofil yang telah diaktifkan dapat merusak jaringan normal.  Jika respon imun adekuat, kerusakan tersebut akan menjadi normal kembali sebab makrofag yang diaktifkan juga akan menginduksi perbaikan jaringan dengan menyekresi growth factor yang merangsang proliferasi fibroblas, sintesis kolagen, dan angiogenesis (Barathawidjaja 2002).

Efek utama penyakit ini terjadi pada orang dengan sistem imun yang lemah seperti wanita hamil, bayi, penderita AIDS, dan penerima transplantasi organ (Bhunia 2008).  Hewan yang menjadi induk semang utama adalah sapi, kambing, domba, babi, anjing, kucing, dan unggas (Songer dan Post 2005; Wesley 2007; Bhunia 2008).  Habitat alami Listeria sp. adalah tanah, air mengalir, saluran pembuangan kotoran, makanan, dan tumbuhan yang telah terurai sebagai saprofit atau tumbuhan yang telah terkontaminasi manure serta feses penderita (Shakespeare 2002; Songer dan Post 2005).

Makanan yang Sering Tercemar
Listeria monocytogenes tergolong bakteri penyebab penyakit asal makanan (foodborne disease) pada konsumen yang mengonsumsi produk makanan terkontaminasi bakteri tersebut.  Makanan yang berpotensi sebagai media penularan bakteri  ini yaitu susu yang tidak dipasteurisasi, keju lunak, telur mentah, daging mentah, seafood, serta sayuran dan buah-buahan yang tidak dimasak (Lorber 2007).  Listeria monocytogenes dapat ditemukan dalam feses ternak. Kasus listeriosis banyak terjadi karena mengonsumsi makanan yang terkontaminasi bakteri tersebut.

Makanan yang memiliki risiko tinggi terkontaminasi L. monocytogenes diantaranya produk susu fermentasi dan tidak difermentasi, daging sapi, daging unggas, produk telur, seafood, dan produk yang berasal dari tumbuhan. Lebih spesifik lagi, makanan yang sering terkontaminasi dan berisiko tinggi sebagai penyebab listeriosis adalah makanan siap konsumsi (ready to eat/RTE food).  Ready to eat food merupakan makanan yang sering terkontaminasi dan dari segi risiko makanan jenis ini memiliki risiko tinggi dalam kasus listeriosis (Guerra et al. 2002; Rocourt dan Buchrieser 2007).  Ready to eat food terdiri atas makanan yang banyak dikonsumsi dan beragam, terdiri atas berbagai bahan pangan, dan disimpan dengan cara dan kondisi yang berbeda, dan siap dikonsumsi tanpa pengolahan terlebih dahulu.  Beberapa contoh ready to eat food diantaranya sosis siap makan, salad, sandwich, soft/semi soft cheeses, pate, dan ikan asap.

Manusia yang mengonsumsi makanan terkontaminasi L. monocytogenes akan mengalami  demam, nyeri otot, mual, dan diare.  Orang dewasa dan anak-anak yang sehat jarang jatuh sakit karena mengonsumsi makanan terkontaminasi L. monocytogenes.  Peluang terjadinya gangguan kesehatan lebih banyak pada wanita hamil dan orang dewasa yang sistem kekebalan tubuhnya terganggu (Anonim 2011).

Sumber Agen dan Keberadaannya di Makanan
Kontaminasi utama pada susu terjadi secara vertikal.  Selain itu, feses dan silase yang mengandung L. monocytogenes  juga dapat mengontaminasi susu.  Pada daging sumber kontaminasi berasal dari sisa feses yang ikut masuk ke dalam tempat pemotongan, sedangkan pada telur sumber kontaminasi berasal dari bakteri yang terdapat di kerabang telur.  Kerusakan oviduk yang diakibatkan oleh L. monocytogenes juga dapat menyebabkan kontaminasi pada telur (Rocourt dan  Buchrieser 2007). 
Sumber umum wabah berkaitan dengan konsumsi hispanic-style soft cheese (queso fresco), keju lunak, keju semilunak, keju matang, hotdog, olahan lidah babi, daging olahan, sosis, susu pasteurisasi, susu nonpasteurisasi, butter, udang, kerang asap, ikan asap, salad kentang, dan sayuran mentah.  Kasus sporadis berhubungan dengan konsumsi susu mentah, es krim yang tidak dipasteurisasi, keju ricotta, olahan jamur, dan sayuran mentah (FAO/WHO 2004).

Gambar 4 Siklus infeksi penyakit Listeriosis (Krauss et al. 2003).

Gejala Klinis pada Manusia
Listeria monocytogenes adalah bakteri penyebab penyakit asal makanan (foodborne illness) pada konsumen yang mengonsumsi produk makanan terkontaminasi bakteri tersebut.  Periode infeksi terjadi selama sepuluh minggu. Listeriosis diawali dengan gejala sakit kepala, kejang abdomen, demam, mialgia, mual, dan muntah.  Tahap berikutnya dapat terjadi kekakuan leher, fotofobia kemudian kematian.  Lima hari hingga tiga minggu setelah tertelan, bakteri ini menyebar ke seluruh tubuh dan menyebabkan kerusakan sistem saraf, jantung, mata, dan fetus. Infeksi pada sistem syaraf dapat mengakibatkan meningitis, ensefalitis, dan abses dengan tingkat kematian hingga 70% (Ekandari 2009). 

Keterlibatan sistem saraf pusat yang mungkin terjadi dapat menyebabkan konvulsi, vertigo, dan stupor.  Stupor merupakan keadaan tidak responsif yang dalam, penderita terbangun hanya jika diguncang secara berulang, dengan suara yang keras, dicubit, ditusuk dengan jarum atau dirangsang dengan rangsangan yang serupa.  Pada orang dewasa manifestasi penyakit yang sering ditemukan berupa meningoensefalitis.  Nekrosis yang disebabkan oleh infeksi L. monocytogenes pada plasenta dapat menyebabkan aborsi spontan, kelahiran prematur atau transfer infeksi dari ibu ke anak.  Kondisi yang juga memungkinkan adalah peningkatan organ yang terlibat seperti endokarditis, metritis, septikemia, dan meningitis.  Bayi dapat mengalami infeksi sistemik pada minggu pertama atau septikemia bentuk pneumonia sebulan setelah kelahiran.  Tingkat kematian akibat infeksi bakteri ini mencapai 20% jika pengobatan tidak dilakukan (Shakespeare 2002).
Pencegahan
Pencegahan listeriosis umumnya memerlukan biaya lintas sektoral yang melibatkan pemerintah, industri makanan, dan konsumen.  Strategi pencegahan dapat dilakukan melalui upaya pengaturan, pendidikan, dan surveilans terhadap makanan yang dapat menjadi media penularan listeriosis.

Pemerintah harus memastikan adanya peraturan terbaru untuk makanan yang berhubungan dengan permasalahan nasional dan peraturan tersebut harus diterapkan dengan benar.  Hal ini dapat dicapai melalui program yang bersifat wajib maupun sukarela.  Kebijakan menerapkan kepatuhan yang diwajibkan (mandatory compliance) merupakan penegakan hukum dengan mengkaji kepatuhan dalam pelaksanaan program melalui inspeksi serta pemeriksaan laboratorium, dan penerapan sanksinya jika kewajiban tersebut dilanggar.  Program yang bersifat sukarela adalah mempromosikan praktik pertanian dan produksi pangan yang baik serta mempromosikan penerapan metode modern jaminan keamanan pangan seperti the Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) System.  Dalam hal ini, pihak industri dan perdagangan, termasuk industri primer (pertanian dan perikanan) bertanggung jawab untuk mengikuti peraturan praktik higiene yang sudah diterima serta mematuhi hukum dan perundangannya.  Industri pangan harus menyadari pentingnya keamanan pangan dan harus selalu mencari cara yang dapat memastikan keamanan produknya, misalnya melalui penerapan sistem HACCP yang kini sudah diakui secara internasional sebagai acuan untuk jaminan keamanan pangan (Motarjemi 2000).

Suatu pendekatan yang komplementer tetapi terpadu dalam pencegahan penyakit melalui makanan adalah pendidikan dan pelatihan bagi para konsumen.  Pencegahan listeriosis dilakukan dengan tidak membiarkan makanan yang mudah rusak dalam waktu yang lama, mencuci sayuran mentah secara menyeluruh sebelum dimakan, mengolah makanan mentah dari sumber hewani dengan baik, dan menghindari minum susu nonpasteurisasi. Selain itu, penyimpanan daging, sayuran, dan makanan yang sudah dimasak dilakukan secara terpisah serta mencuci peralatan dapur setelah menangani makanan mentah.
Daftar Pustaka

[Anonim]. 2011. AS: Penarikan makanan jadi yang mengandung daging ayam karena pencemaran Listeria monocytogenes. [terhubung berkala]. http://www.adhpi. org/?p=92 [2 April 2011].

Abbas AK, Lichtman AH. 2003. Celluler and Molecullar Immunology. Ed ke-5. Philadelphia: WB Saunders.
Alberts B, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K, Walter P. 2002. Molecular
Biology of the Cell. Ed ke-4. New York: Garland Sci.
Bae BH, Bottone EJ. 1980. Modified Christie-Atkins-Munch-Petersen (CAMP) test for direct identification of hemolytic and non-hemolytic group B streptococci on primary plating. Can J Microbiol 26(4): abstrak. [terhubung berkala]. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 6991084 [2 April 2011].

Barathawidjaja KG. 2002. Imunologi Dasar. Ed ke-5. Jakarta: FK UI.

Bhunia AK. 2008. Foodborne Microbial Pathogens. New York: Springer Sci.

Ekandari SE. 2009. Kajian tingkat keamanan susu ultra high temperature (UHT) impor terhadap Listeria monocytogenes. [terhubung berkala]. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/5425 [22 April 2011].

[FAO/WHO] Food and Agriculture Organization of the United Nations/World Health Organization. 2004. Risk assessment of Listeria monocytogenes in ready-to-eat foods: interpretative summary. Geneva: FAO/WHO.

Gontier P. 2011. Listeria monocytogenes bacteria. London: Science Photo Library. [terhubung berkala]. http://www.sciencephoto. com/media/11325/view [12 Mei 2011].

Guerra MM, McLauchlin J, Bernardo FA. 2002. Listeria in ready-to-eat and unprocessed foods produced in Portugal. Food Microbiol 18(4): abstrak [terhubung berkala]. http://sciencedirect.com/ science?_ob =ArticelURL& _udi=B6WFP-458NKM5-14 [17 April  2011].

Hanson A. 2006a. CAMP test for identification of Listeria monocytogenes. Orono: University of Maine. [terhubung berkala]. http://archive. microbelibrary.org/ asmonly/details.asp?id=2334 [31 Maret 2011].
Hanson A. 2006b. CAMP test protocols, curriculum, protocol. Orono: University of Maine. [terhubung berkala]. http://archive. microbelibrary.org/asmonly/details.asp?id=2343 [31 Maret 2011].
Hass J, Kusinski K, Pore S, Shadman S, Vahedi M. 2007. A ride with Listeria monocytogenes: a trojan horse. Eukaryon 3:47–54.
Krauss H, Weber A, Appel M, Enders B, Isenberg HD, Schiefer HG, Slenczka W, Graevenitz A von, Zahner H. 2003. Zoonoses: Infectious Disease Transmissible from Animals to Humans. Washington DC: ASM Pr.
Lado BH. 2003. Characteristics of Listeria monocytogenes important for pulsed electric field process optimization [disertasi]. Graduate School, Ohio State Univ.
Lathrop AA, Ziad WJ, Tim H, Bhunia AK. 2003. Characterization and application of a Listeria monocytogenes reactive monoclonal antibody C11E9 in a resonant mirror biosensor. J Immunol Methods 281:119128.

Lorber B. 2007. Listeriosis. Di dalam: Goldfine H, Shen H, editor. Listeria monocytogenes: Pathogenesis and Host Response. New York: Springer Sci. hlm 1332.

Miller FP, Vandome AF, McBrewster J. 2009. Listeria monocytogenes. Saarbrücken: VDM.
Motarjemi Y. 2000. Impact of small scale fermentation technology on food safety in developing countries. Int J Food Microbiol 75:213–229.
Rocourt J. 1994. Listeria monocytogenes: the state of the science. Dairy Food Environ San 14(2):70–82.
Rocourt J, Buchrieser C. 2007. The Genus Listeria and Listeria monocytogenes: phylogenetic position, taxonomy, and identification. Di dalam: Ryser ET, Marth EH, editor. Listeria, Listeriosis, and Food Safety. Ed ke-3. Boca Raton: CRC Pr. hlm 120.
Shakespeare M. 2002. Zoonoses. London: Pharmaceutical Pr.
Slutsker L, Schuchat A. 1999. Listeriosis in humans. Di dalam: Ryser ET, Marth EH, editor. Listeria, Listeriosis, and Food Safety. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker. hlm 7596.
Songer JG, Post KW. 2005. Veterinary Microbiology Bacterial and Fungal Agents of Animal Disease. Missouri: Elsevier.
Ueda F, Ogasawara K, Hondo R. 2006. Characteristics of Listeria monocytogenes isolated from imported meat in Japan. Jpn J Infect Dis 59:54–56.
Wesley IV. 2007. Listeriosis in animal. Di dalam: Ryser ET, Marth EH, editor. Listeria, Listeriosis, and Food Safety. Ed ke-3. Boca Raton: CRC Pr. hlm 5584.







Veterinary anatomist | School of Veterinary Medicine and Biomedical Sciences, IPB University | Ph.D. student, Joint Graduate School of Veterinary Sciences, Tottori University, Japan

2 comments

  1. Terima kasih untuk artikel yang sangat informatif, berikut saya lampirkan artikel terbaru yang memuat isi terkait pemodelan peran kampanye media pada pengendalian penyebaran Listerosis. Dapat dibaca pada link berikut ini: https://news.unair.ac.id/2021/09/23/pemodelan-peran-kampanye-media-pada-pengendalian-penyebaran-listeriosis/?lang=id
    1. Terima kasih sudah membaca dan atas sharing informasi terkait pemodelan peran media dlm pengendalian listeriosis.
Komentar atau tidak komentar tetap thank you.